Melihat pengamen menyanyi di lampu-lampu merah kota bandung, bukanlah hal yang asing lagi. Kita, sudah sangat terbiasa dengan kehadiran mereka. Terkadang, ketika mereka menyanyi di panas teriknya kota bandung, kita bersikap acuh, memainkan handphone, tidur, baca buku, atau mengobrol asyik dengan teman, seolah mereka tak pernah ada. Pernahkan kita ingin tau kehidupan mereka? dibelakang gitar-gitar tua itu, mereka mengukir nada-nada harapan , menggantungkan doa-doa pada tali senar itu.
Siang itu, di pojok-pojok gedung tinggi kota bandung, tampaklah sekelompok anak jalanan yang sedang beristirahat. Tempat yang sebenarnya tak layak untuk dijadikan tempat peristirahatan. Tentu keadaanya berbeda jauh dengan tempat istirahatnya para pejabat di villa-villa mewah yang mungkin, tarif menginap satu malamnya saja,bisa mencukupi biaya makan satu bulan rakyat miskin. Saya dan seorang teman, menghampiri mereka. Sepertinya, mereka cukup kaget dengan kedatangan yang tak diduga ini. memulai pembicaan dengan mereka, bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Karena, saya menyadari sepenuhnya, bahwa saya harus ikut masuk kedalam dunia mereka, tanpa harus membawa-bawa kehidupan saya.
Setelah berkenalan dengan mereka, tanpa izin mereka langsung pergi satu per satu sambil tersenyum malu. Entahlah, mungkin mereka merasa terganggu dengan kedatangan kami. Mungkin, beginilah mereka memandang kami. Tapi, saya tak pernah tau, kacamata seperti apa yang mereka gunakan.
Tapi niat kami, tak dangkal seperti genangan air hujan. Kami mendatangi pojok lain, dan disanalah kami menemukan seorang anak jalanan, yang ternyata punya banyak sekali harapan. Namanya adalah Van. Van memiliki style seperti kebanyakan anak jalanan. Rambut yang tegak ditengah (saya tidak tau model apa itu), anting-anting besar di kedua telinga, baju dan sepatu yang kumal, tato dari matakaki sampai dengkul yang tidak jelas polanya seperti apa, dan wajah yang kotor karna debu dan asap-asap kendaraan. Wajar saja hal seperti itu yang dilihat jika membandingkan dengan lingkungan yang tidak kondusif.
Meski terlihat pemalu, van lebih terbuka dengan kehidupannya.
“ saya di jalan, sudah sejak kecil teh. Dari kelas 1 SD sampai sekarang, saya hidup di jalan. Jalanan, adalah rumah saya,” aku Van yang berumur 22 tahun itu.
Van mengaku, bahwa setiap hari, beliau selalu tidur dipojok-pojok gedung di kota bandung.
“ini teman saya teh, namanya Satria. Ini anak tidak tau di untung,”ujar Van sambil memperkenalkan temannya.
“disekolahin sama orang tua, malah selalu bolos. Ini saja, sudah seminggu tidak masuk sekolah. Kebalikan sama saya teh. Kelas 2 SMA, saya harus berhenti karna orang tua ga mampu lagi untuk membiayai,”sambung Van.
Tak hanya sampai disitu, van bercerita bahwa ia pernah menjadi supir angkot lantaran banyak kenalan supir angkot. Tapi sekarang, beliau sudah tidak bisa lagi ‘narik’ karna SIM Van, hilang entah kemana.
“ya kalo ngamen lagi semangat, satu hari itu bisa dapat 30-40 ribu teh. Kalo bawa angkot, lebih banyak. Tapi karena storannya yang mahal, jadi jutuhnya sama-sama saja,”jelasnya.
Van bercerita, hidup di kota bandung itu susah. Harus bertahan dengan tuntutan kehidupan dan pastinya harus berpacu dengan kebutuhan.
“dulu ada teh yayasan yang menampung anak-anak jalanan. Ada 2 malah. Tapi pengelolanya ga bener. Yang satu korupsi, dan yang satu lagi kena kasus ngebom gereja. Ga ngerti saya juga teh. Udah di tipu berkali-kali. Padahal katanya dananya itu gede loh, sampe pulihan juta,”ujarnya lagi.
Van bercerita asyik sekali. Walau terkesan pemalu, ia menceritakan kisahnya, cita-citanya, dan masalah-masalahnya. Tak jarang ia ‘diolok-olokan’ oleh teman-teman seperjuangannya. Ia juga bercerita bahwa ia ingin sekali pergi ke kota Bali. Ketika di tanya tentang tujuannya, ia menjawab dengan santai “ya kepengan aja ngamen di Bali.haha,”katanya sambil tertawa lebar, mengisyaratkan keputusasaan akan nasib.
“siapa sich teh, yang tidak ingin hidup sukses? Saya pun ingin berubah. Malu teh, sudah besar masih seperti ini. Cape dengan kehidupan yang seperti ini.,”katanya sambil mengambil tas ransel hitam kucel. “ saya lari teh dari rumah. Ga betah di rumah. Pasti berantem terus soal duit sama orang tua,” dibukanya tas itu, dan di keluarkan baju-baju yang lecek, bau dan kotor,sampai-sampai tidak ketahuan lagi warna aslinya seperti apa. Tapi, dibalik baju-baju kecel itu, ia mengeluarkan bungkusan Koran. “teh,saya itu pengen berubah, tapi da susah teh,” sambil membuka bungkusan koran yang ternyata isinya adalah baju koko yang masih putih-bersih. Subhanallah…!
“Sebenarnya saya pengen sholat, tapi saya ga bisa sholat. Lagian kalau ke mesjid saya suka malu teh. Suka diliatin sama warga. Mungkin takut saya berbuat ga bener di mesjid. Jadi ke saya nya juga ga seneng gitu teh. Jadi ga mau saya kemesjid lagi,”
Subhanallah, inilah kisah seorang Van, yang dibalik ukiran tatonya, ternyata punya ukiran harapan tersendiri. Dibalik baju-baju kumalnya, punya doa-doa untuk bisa bersih.
Teman-temanku sekalian, kisah ini banyak memberi kita pelajaran tentang sebuah arti yang bisa kita temukan di kamus besar bahasa Indonesia, tapi terkadang tak bisa kita temukan dalam hati kotor ini.
Sekarang, cobalah cari arti kesyukuran, arti perjuangan, arti harapan, arti cita-cita, dan arti solidaritas dalam kamus hati kita. Adakah kita menemukannya saudaraku?
Maukah kita membantu Van Van lainnya yang masih tersebar dipojok-pojok gedung tinggi kota bandung?, di balik booming nya nama Paris Van Java? Atau masih sangat nyaman dengan bangku kuliah yang disana ada uang Van?
Ayo MAHASISWA, di ladang inilah 3 peranmu yang selama ini kalian sebutkan berfungsi semuanya!
*semoga bisa mengambil hikmah dari cerita ini,*
“inilah Neraka Jahanam yang didustakan oleh orang-orang yang berdosa. Mereka berkeliling disana dan diantara air yang mendidih. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS : [55]: 43-45)
Astecia P. Scofield.
Bandung, 15 Agustus 2010, 02:04 PM
0 komentar:
Posting Komentar