Teriakan-teriakan itu kembali terdengar.
“GENDUT, BANGUN! JEMUR BAJU!”
“GENDUT, MAKAN!”
Sebagian orang mungkin berfikir itu kasar, namun tidak untukku. Aku hanya tersenyum. Mendengar kembali teriakan-teriakan dari kakak paling hebat sedunia, mbak Astrie Pusphita. Memang begitu lah karakternya, PERINTAH. Yah, mungkin sudah seperti itu karakter anak sulung dimana-mana. Meski begitu, kata-kata nya diatas adalah bentuk kasih sayangnya padaku. Ia kakak pertama. Satu-satunya kakak perempuan yang kumiliki. Meski akhwat, ia sangat tangguh. Pengaruh kuliah di teknik industry membuatnya menjadi ‘orang serba bisa’ di rumah setelah papa. Aku punya 2 orang abang, tapi tetap saja, Tugas-tugas seperti ngecat plapon, bongkar-bongkar radio,dispenser,strika dll dibebankan padanya. Wanita inilah yang mengajarkanku untuk bertahan kuliah.
“mbak dulu datang kebandung dianter papa Cuma beberapa hari. Setelah itu semuanya mbak lakukan sendiri. Kalo acha sudah memutuskan untuk kuliah diluar, maka acha harus menanggung semua konsekuensinya. Kalo acha sudah memutuskan untuk kuliah dikimia, maka acha harus selesaikan tugas acha”
Ia, punya banyak kata-kata motivasi.aah,,, ia kakak paling hebat!
Teriakan kedua :
“GENDUT, MAU MAKAN APA?”
“GENDUT, MAMA SURUH BLA…BLA…BLA”
Ini karakter abangku yang ke3, Adhe Permana. Aahh, ini juga abang yang luar biasa. Kadang aku sendiri merasa malu. Ketika ia masih dibandung, aku akan sms, jika ada perlu saja.
“mas, besok acha LKM, butuh senter ama ransel besarS.”
Sudah, seperti itu saja. Singkat. Tak tau malu. Tak ada balasan. Namun menginjak jam 11an malam, pintu kostan pasti berbunyi. Ya, mas adhe datang dengan barang yang kuperlukan plus makanan. Marah-marah dulu karna mintanya mendadak, itu juga pasti. Lalu, ia pun pulang. Aah,, bentuk perhatian dan kasih sayang yang berbeda.
Lain dengan mbak astrie dan mas adhe, yang satu ini tak pernah berteriak. Tak pernah memanggilku dengan sapaan GENDUT. Abangku yang satu ini dingin, namun DIA YANG TERBAIK*tentu mas adhe juga*. Dari SMP, sampai SMA, laki-laki bernama Adie Pradhana ini yang mengantar jemputku kemana pun aku mau pergi. Mulai dari pergi sekolah, makan di luar, ke rumah temen, ke toko buku, dll. Maklum, beliau memang kuliah di tanjungpinang,tidak seperti mbak astrie dan mas adhe yang perantau sejati. Jadi, bisa dibilang kami ga pernah pisah. Pisahnya ya baru ketika aku pergi ke bandung saja.
Hari ini, dengan sakitnya papa, kami ngumpul kembali setelah berpencar-pencar kemana-mana. Bayangan ketika masih kecil pun terusik kembali. Melihat kamar itu, membuat aku ingat beberapa tahun kebelakang, saat kami bermain monopoli, tempat tidur itu, mengingatkan akan tidur siang kami, ruang tengah, mengingatkan aku pada sholat magrhib berjemaah sekeluarga di lanjut dengan ngaji. Ya… dulu kami mengaji bersama. Papa lah ustadnya. Rumah kami jauh dari mesjid, sangat jauh. Maka kami melakukan semuanya sekeluarga. Sayang rotan itu tak ada lagi. Rotan yang memukul telapak tangan kami jika kami tak dapat menghafal ayat ayat pendek yang telah papa tugaskan.
Kami dididik keras dan penuh peraturan. Bada subuh dilarang tidur, pulang sekolah sepatu dan seragam dirapikan sendiri, makan siang lalu wajib tidur siang. Sorenya, kami bebas untuk bermain apapun. Tak ada larangan. Mau main kotor atau apapun, silahkan saja. Mandi dan sholat berjemaah lalu mengaji. Bada isya, belajar. Jam 9, waktunya tidur. Agenda bisa berubah sewaktu-waktu jika papa tidak di rumah. Jadwal belajar diganti menjadi bermain monopoli bersama anak-anak tetangga yang biasa mengaji dan belajar di rumahku.
Namun, sekarang kondisi sudah berbeda. Mbak astrie sudah punya anak (sekarang mau 2), mas adie mau nikah, mas adhe sudah punya calon. Mmmhhh….
Tak jarang air mata ini mengalir. Aku takut di tinggal mereka. Hari ini aku bertanya pada mas adie “mas, kalo udah nikah, masih sayang ga sama acha?”. Jawabanya adalah “masih.”
Cukup seperti itu saja. Aku hanya tersenyum. Memang seperti itulah dia. Dingin, tak romantis, namun aku tau betapa ia menyayangiku. Dari kecil kami bermain bersama, bahkan walaupun aku tak bermain bola bersamanya, ia tetap mengajakku ke lapangan bola bersejarah di dekat hutan itu. Bahkan ia menyusulku ke tempat aku mengadakan acara sekolah untuk jarak yang memang cukup jauh.
Kalian adalah abang dan kakak paling hebat yang pernah ada. Betapa diri ini terlalu banyak merepotkan kalian, namun yang perlu kalian semua tau adalah, acha sangat menyayangi kalian. Tak pernah sedikitpun acha lupa. Terimakasih atas didikan keras dan belaian manja mba dan mask u…
Keluargaku adalah anugrah terindah dalam hidupku
0 komentar:
Posting Komentar