A.
RUMUSAN MASALAH
Anak
mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa, hak
asasi manusia (HAM). Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak segencar
sebagaimana hak – hak orang dewasa atau isu gender, yang menyangkut hak
perempuan. Perlindungan hak anak tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan
melakukan langkah - langkah kongkrit. Demikian juga upaya untuk melindungi hak
– hak anak yang dilanggar oleh negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya
sendiri, tidak begitu menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak.
Padahal anak adalah titipan Tuhan yang seharusnya diperlakukan sebagaimana
mestinya dan serta merupakan belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset
keluarga, agama, bangsa dan negara. Ditambah dengan adanya tuntutan ekonomi
membuat maraknya orang tua yang memperkerjakan anak – anak mereka.
Konon
mempekerjakan anak bawah umur kebiasaan yang telah ada sejak lama, pekerjaan
yang ada menarik anak dibawah umur
karena tidak memerlukan kualifikasi tertentu. Beberapa Konvensi ILO Nomor 138 membahas mengenai
batas usia minimun anak diperbolehkan bekerja dan rekomendasi No. 146 yang
diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 telah mendeklarasikan
bahwa “batas usia minimum anak diperbolehkan bekerja di Indonesia adalah 15
tahun” dan “pekerjaan apapun yang membahayakan anak-anak secara fisik, mental
atau kesehatan atau moral anak tidak boleh dilakukan oleh mereka yang berusia
dibawah 18 tahun”. Ketetapan usia minimum ini tentunya
juga menjadi acuan bagi anak yang bekerja pada berbagai sector (pembantu rumah tangga, pabrik, dll). Namun persoalan
ekonomi yang masih mendera bangsa ini mengakibatkan anak-anak terpaksa bekerja
kendati belum memenuhi batas standar minimum untuk bekerja.
Pekerjaan yang
biasa mereka geluti adalah melakukan pekerjaan sebagai tukang cuci, buruh bangunan, buruh pabrik, mengasuh
anak, pemasak, dan cleaning
service. Mereka berasal dari pedesaan, dari keluarga miskin,
berpendidikan rendah. Keberadaannya di tempat kerja, tanpa perlindungan hukum,
tanpa pengawasan pihak berwenang, tanpa ikatan kontrak kerja, tanpa uraian
pekerjaan, tanpa aturan jam kerja, tanpa upah minimum, serta tanpa hari libur.
Hal ini menjadi kondisi yang kurang menguntungkan bagi anak di bawah umur yang
telah bekerja, yang semestinya dapat tumbuh kembang dan mendapatkan
perlindungan, namun harus terjebak pekerjaan yang belum memiliki rambu-rambu
hukum dan standar ketenagakerjaan. Ini berarti pekerja anak di bawah umur berada pada situasi dan kondisi rentan
terhadap eksploitasi dan kekerasan.
Setelah melihat
fakta yang ada, tidak sewajarnya anak-anak yang berusia di bawah umur (usia di
bawah 18 tahun) untuk bekerja. Namun kasus ini
muncul di berbagai daerah negara ini masih kerap terjadi. Oleh karena
itu, kami merasa tertarik untuk membahasnya di dalam portofolio ini.
Adapun rumusan masalah yang
kami gunakan dalam pembahasan portofolio ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian dari
mempekerjakan anak di bawah umur?
2.
Bagaimanakah kondisi
anak bawah umur yang telah bekerja di
Indonesia?
3.
Apa faktor penyebab
munculnya pekerja anak bawah umur ini?
4.
Apa dampak negatif dari
adanya pekerja anak bawah umur ini?
5.
Bagaimanakah
keterkaitan undang-undang terhadap pekerja bawah umur ini.
Sejalan dengan latar belakang dan rumusan masalah
yang kami bahas, maka tujuan kelompok kami
dalam melakukan penulisan portofolio ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui
mengenai realita pekerja anak bawah umur di Indonesia.
2.
Mendapatkan pengetahuan
mengenai faktor serta akibat dari adanya pekerja anak bawah umur.
3.
Mengetahui
undang-undang yang berkaitan terhadap pekerja anak bawah umur di Indonesia.
Manfaat
yang dapat kita ambil dari portofolio ini dapat ditinjau dari dua aspek yaitu
aspek teoritis dan aspek praktis. Adapun manfaat yang bersifat teoritis
diantaranya diharapkan penulis maupun
pembaca sadar bahwa anak pun mempunyai hak yang bersifat asasi,
sebagaimana yang dimiliki orang dewasa. Kemudian diharapkan juga mampu
memahamkan tentang hukum perlindungan anak yang berlaku di Indonesia baik bagi
penulis maupun pembaca.
Jika ditinjau dari
aspek praktis diharapkan kita lebih peka terhadap lingkungan sosial sekitar.
Juga menambah rasa kepedulian terhadap anak – anak Indonesia yang ternyata
masih banyak yang belum terpenuhi hak –haknya. Sehubungan kita pun merupakan
mahasiswa yang berbasic pendidikan,
dan kemungkinan besar akan menjadi seorang pendidik maka sudah selayaknya kita
mencoba mengaplikasikan ilmu yang kita peroleh untuk orang – orang disekitar
kita khususnya anak – anak yang dipekerjakan, tidak hanya ilmu yang kita fokus
pelajari saat ini, tapi juga ilmu lainnya yang bisa kita dapat tidak hanya di
bangku perkuliahan. Diharapkan juga mampu menyadarkan kepada penulis maupun
pembaca bahwa di sekeliling kita masih banyak orang–orang yang lebih tidak
beruntung dibanding kita.
B.
REFERENSI
1.
STUDI LITERATUR
A. Pendahuluan
Sebgai makhluk bermartabat, manusia memiliki
sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak
berkumpul, serta hak beragama, serta hak berkepercayaan.Nilai-nilai HAM
mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan
dimuliakan.HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan mausia, sehingga
tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam
bentuk apapun dan juga tidak boleh ada pembatasan dan pengekangan apapun
terhadap kebebasan
dasar manusia.
Oleh karena masalah
hak asasi
manusia telah merambah di dalam kehidupan masyarakat dan merupakan persoalan
bersama, maka masyarakat/mahasiswa terutama seyogyanya dikenalkan paa masalah
HAM aga kita agar kita mengetahui dan menyadari dan kewajiban asasi dirinya dan
hak asasi orang lain sehingga mereka akan terbiasa untuk menghormati diri dan
hak-hak asasi orang lain.
B. Hak Asasi Manusia
Hak Asasi manusia merupakan suatu konsep etika
politik modern dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap
manusia dan kemanusiaan.Gagasan ini membawa ke dalam sebuah tuntutan moral
tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesama manusia.Tuntutan
moral tersebut sejatinya, merupakan ajaran inti semua agama.Sebab, semua agama
mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia tanpa
adanya pembedaan dan diskriminasi.
Tuntutan moral itu diperlukan teruatama dalam rangka
melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau ‘dilemahkan’ dari
tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan
berkuasa.Karena itu esensi dan konsep hak asasi manusia adalah penghormatan
terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi berdasarkan
apapun dan demi alasan apapun; serta pengakuan terhadap martabat manusia
sebagai makhluk termulia di muka bumi.
Kesadaran dan pentingnya HAM dalam wawancara global
muncul bersmaan dan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik
sentral pembangunan. Konsep HAM berakar pada penghargaan terhadap manusia
sebagai makhluk berharga dan bermartabat. Konsep HAM menerapkan manusia sebagai
subjek, bukan objek, dan memandang manusia sebagai makhluk yang dihargai dan
dihormatitanpa membedakan ras, warna kulit,
jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa maupun agamya.
1.
Pengertian
HAM (Hak Asasi Manusia)
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia,
istilah “hak” diartikan sebagai sesuatu yang benar, kepemilikan, kekuasaan
untuk melakukan sesuatu, atau kekuasaan yang benar atas sesuatu. Sedangkan
“asasi” berarti bersifat dasar, pokok atau fundamental. Sehingga HAM adalah hak
yang bersifat dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia seperti: hak hidup,
hak berbicara dan lain-lain.
Bebearpa
pengertian HAM:
a.
Hak-hak dasar/hak-hak
pokok yang dbawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak
asasi ini menjadi dasar dari hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang lain.(Darji
Darmoniharjo, pakar Hukum Indonesia)
b.
Ha yang memungkinkan orang
hidup berdasarkan suatu harkat dan martabat tertentu(beradab).(Padmo Wahjono,
Pakar hukum Indonesia)
c.
Hak sebagai anugerah
Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia bersifat kodrati, universal
dan abadi, berkaitan dengan harkat martabat manusia. (Ketetapan MPR-RI no.
XVII/MPR/1998 tentang HAM)
d.
Seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Ynang Maha
Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat martabat manusia.(UU no.39 tahun 1999 tentang HAM
pasal 1 angka 1)
e.
Hak yang dimiliki
manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran di dalam
kehidupan msyarakat. (Tilaar,2001)
f.
Hak asasi bersifat umum
(universal), karena diyakini bahwa beberapa hak dimiliki tanpa perbedaan ata
bangsa, ras, agama, atau jenis kelamin. Dasar dari hak asasi bahwa manusia
harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan
cita-citanya. (Miriam Budiarjo, 1994)
2.
Jenis-jenis
Hak Asasi Manusia
Berdasarkan subjeknya dibedakan menjadi:
1)
Hak-hak asai individu.
2)
Hak-hak asasi
kolektif/sosial.
Menurut Sri Soemantri, dibedakan menjadi:
1)
Hak asasi manusia
klasik (de klasieke grondrechten)
Yaitu
hak asasi manusia yang timbul dari eksistensi manusia, seperti hak untuk
berpendapat dan berkumpul, hak untuk menyatakan pendapat baik secara lisan
maupun tertulis, dan hak menganut agama tertentu.
2)
Hak-hak asasi manusia
sosial
Yaitu
hak yang berhubungan dengankebutuhan manusia baik yang bersifat lahiriyah
maupun rohaniah.
Dalamperpustakaan
barat HAM dikenal dengan istilah Human
Right yang kemudian semakin
berkembang di tiap-tiap negara. Magna
Charta menjadi benih dan fair trial,
sengketa hukum antara kaum bangsawan asli Inggris diselesaikanmenurut adat,
yang dikenal dengan sebutan Common Law.
Kemudian dan berturut-turut lahir The
Greater Charter of Liberties (1297), Petition
of Right (1628), Habeas Corpus Act
(1697) dan terakhir dengan terjadinya revolusi besar yang disebutThe Glorius Revolution telah melahirkan Bill of Right (1689) yang menyebabkan
kerajan Inggris beralih pemerintahan parlementer.
Tahun 1946 Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk komisi HAM yang hasilnya diterima secara bulat
dalam siding PBB tanggal 10 Desember 1948 sebagai universal declaration of human right. Deklarasi ini terdiri dari 30
pasal, yang diawali oleh bagian mukadimah yang mengemukakan beberapa
pertimbanhan, perlunya HAM, yaitu:
1)
Pengakuan atas martabat
alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dihilangkan dari semua anggota
masyarakat dunia ialah dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia.
2)
Mengabaikan dan
memandang rendah hak-hak manusia telah mengakibatkan perbuatan yang bengis dan
kejam.
3)
Hak-hak asasi manusia,
perlu dilindungi oleh peraturan hukum.
4)
Perlunya peningkatan
persahabatan antar bangsa.
Menurut
Jenisnya:
1)
Hak-hak asasi
pribadi/personal/rights, seperti:
Kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan memilih agama, kebebasan bergerak, dan
sebagainya.
2)
Hak-hak asasi
ekonomi/property right, seperti:
Hak unruk
memiliki sesuatu, membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
3)
Hak-hak asasi untuk
mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau yang biasa
disebut right of legal equality.
4)
Hak-hak asasi politik/political right a hak untuk ikut serta
dalam pemerintahan, seperti: hak pilih, hak mendirikan parpol, ormas, dan
sebagainya.
5)
Hak-hak asasi social
dan kebudayaan/ social enculture right,
seperti: hak untuk memilih pendidikan, pengembangan kebudayaan, dan sebagainya.
6)
Hak-hak asai untuk
mendapatkan perlakuan tatacara peradilan dan perlindungan/procedural right,
seperti: hak untuk mendapatkan perlindungan dalam hal terjadi penangkapan,
penggeledahan, penahanan, peradilan, dan sebagainya.
7)
Hak-hak asasi untuk
membangun/ right to development,
yaitu hak asasi bagisuatu Negara untuk membangun atau komunitas untuk membangun
negaranya tanpa campur tangan Negara asing.
C. Sejarah dan
Perkembangan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia
Perjuangan Hak asasi manusia di
Indonesia yang mencerminkan bentuk pertentangan yang sangat besar boleh
dikatakan terjadi setelah masuk dan bercokolnya bangsa asing di Indonesia untuk
jangka waktu yang lama, sehingga timbul berbagai perlawanan dari rakyat untuk
mengusir penjajah.Dengan demikian sifat perjuangan dan perwujudan tegaknya HAM
di Indonesia itu tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili
kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan
menyeluruh yaitu kepentingan bangsa Indonesia secara utuh.
Dimulai pada masa kerajaan Sriwijaya
dan Majapahit, kemudian dilanjutkan oleh para tokoh yang menjadi pemimpin
perlawanan-perlawanan terhadap penjajahan yang kemudian menjadi pahlawan bangsa
seperti; Imam Bonjol, Teuku Umar dan Pangeran Antasari.
Dengan berkembangnya zaman kemudian
muncullah berbagai pergerakan yang dipelopori oleh Budi Utomo pada tanggal 20
Mei 1908, dan pada 28 Oktober 1928 berkumandang sumpah pemuda hingga
tercetuslah Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945.
Akhirnya ketetapan MPR-RI Ynag
diharapkan memuat secara tegas adanya HAM itu diwujudkan dalam masa orde
reformasi, yaitu selama sidang istimewa MPR-RI yang berlangsung dari tanggal
10-13 November 1998, diputuskan dalam rapat paripurna ke-IV tanggal 13 November
1998, berupa lahirnya tetapan MPR no. XVII/MR/1998 tentang HAM, yang kemudian
menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya Undang-Undang no.39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia yang disahkan pada tanggal 23 September 1999, dicantumkan
dalam LNRI tahun 1999 no. 165.
Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya
telah pula lahir UU No. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat
di muka umum yang disahkan dan di undang-undangkan di Jakarta pada tanggal 26
Oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI tahun 1998 no. 181.
D. Pemahaman Hak Asasi
Manusia dalam Pancasila
Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak
dasar yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugrah tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Kehidupan bermasyarakat hak-hak ini tidak dapat dituntut pelaksanaanya
secara mutlak, karena penuntutan hak-hak asasi secara mutlak akan dapat
melanggar hak asasi yang sama dari orang lain. Hak-hak asasi mutlak akan dapat
melanggar hak asasi yang sama dari orang lain. Hak asasi manusia biasa disebut
dengan “hak-hak dasar” yang meliputi : Hak-hak dalam lapangan politik, ekonomi,
social, kebudayaan, dan yuridis” dan “Kebebasan-kebebasan dasar” yang meliputi
“Kebebasan dalam lapangan kekebasan pribadi dan rohani”.
Hak-hak dalam kebebasan dasar atau
hak-hak asasi manusia yang terkandung dalam sila-sila pancasila adalah:
1.
Hak
asasi manusia dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Setiap orang dijamin untuk melakukan ibadah menurut
agama dan keyakinan masing-masing. Setiap agama dipandang sama hak dan
kedudukannya terhadap Negara.
2.
Hak
asasi manusia dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Setiap orang berhak untuk diperlakukan secara
pantas, tidak boleh disiksa dan dihukum secara sewenang-wenang, tidak boleh
dihina atau diperlakukan secara melampaui batas, ia berhak untuk dianggap tidak
bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang.
Sila kemanusiaan ini berarti pula: suatu kemerdekaan
bagi segala bangsa dengan menolak kolonialisme dan imprealisme dan setiap
bangsa berhak untuk menentukan bentuk dan corak negaranya sendiri.
3.
Hak
asasi manusia dalam Persatuan Indonesia
Persatuan Indonesia atau kesadaran kebangsaan
Indonesia lahir dari keinginan untuk bersatu sebagai suatu bangsa, lahir dari
sikap mengutamakan kepentingan suku, golongan, partai dan lain-lain.
Kesadaran kebangsaan ini meupakaan tanda adanya
keinginan untuk mempertahankan hak asasi manusia, sebab tanpa adanya kesadaran
kebangsaan tidak ada jaminan bahwa hak asasi manusia mendapatkan perlindungan.
Perasaan kebangsaan Indonesia keluar bersifat
persahabatan dengan bangsa-bangsa lain dalam dasar sama derajat, anti
kolonialisme dan imprealisme.
4.
Hak
asasi dalam Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan
Perwakilan
Kerakyatan berisi pengakuan akan harkat dan martabat
manusia yang berarti pula menghormati an menjunjung tinggi segala hak asasi
yang melekat pula padanya.
Hak asasi dalam sila kerakyatan terwujud seperti
“hak mengeluarkan pendapat hak berkumpul dan berpendapat, hak ikut serta dalam
pemerintahan dan jabatan-jabatan negara kemerdekaan pers dan sebagainya.”
Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR).
Masalah pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat
dipisahkan dari pelaksanaan hak asasi manusia.Demokrasi pancasila dengan
musyawarah dan mufakatnya memberikan nilai tinggi terhadap HAM.
5.
Hak
asasi manusia dalam Keadilan sosial bagi seliruh rakyat Indonesia.
Keadilan sosial berwujud hendak melaksanakan
kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat, ini berarti:”Bahwa setiap orang
dapat menikmati kehidupan yang layak sebagai manusia yang terhormat, setiap
orang berhak mendapat nafkah dan jaminan hidup yang layak dalam lapangan
ekonomi dan sosial dengan saling harga-menghargai dan bantu-membantu”. Keadilan
sosial adalah hak asasi manusia seperti hak hidup, hak milik, hak atas
pekerjaan, dan sistem pengubahan yang baik dan adil.
E.
Hak
Asasi Manusia Dalam UUD 1945
Dalam rangkaian amandemen UUD ’45 terjadi perubahan
yang besar dalam aturan yang membahas tentang warga negara.Dalam perubahan
kedua UUD 1945 yang ditetapkan oleh MPR, tanggal 18 Agustus 1945.
Pasal tentang HAM ditulis dalam bab tersendiri,
yaitu Bab XA, pasal 28 yang terdiri dari 10 pasal.Dengan adanya bab khusus
tentang HAM ini, berarti memantapkan keinginan kita untuk menjunjung HAM
dinegara tercinta ini.
F. Undang – Undang 1945
yang Mengatur Hak – hak Warga Negara
Berkenaan dengan tema
makalah portofolio yang kami bahas yaitu tentang HAM pada anak, maka dirasa
perlu dipahami terlebih dahulu mengenai hak dan kewajiban warga negara. Dalam
batang Tubuh UUD 1945, hak – hak warga negara diatur dalam beberapa pasal.
Adapun pasal – pasal dalam UUD 1945 yang mengatur hak – hak warga negara
khususnya yang berkenaan dengan hak anak adalah sebagai berikut :
1.
Pasal 27 ayat 1 UUD
1945 tentang Hukum dan Pemerintahan
“ Segala warga
negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjungjung hukum dan pemerintahannya itu dengan tidak ada kecualinya “.
2.
Pasal 27 ayat 2 UUD
1945
“ Tiap – tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
“.
3.
Pasal 31 ayat UUD 1945
“ Tiap – tiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan “.
4.
Pasal 33 UUD 1945
“ Tiap – tiap
warga negara berhak ikut dalam kegiatan perekonomian yang diusahakan bersama –
sama “.
5.
Pasal 34 UUD 1945
“ Fakir miskin
dan anak – anak terlantar dipelihara oleh negara “. Dengan kata lain, fakir
miskin berhak dipelihara sesuai dengan kemampuan pemerintah. Didalam Undang –
Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM, sebagian besar isinya mengenai hak – hak
warga negara, diantaranya :
1)
Hak untuk hidup
Setiap orang
berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
2)
Hak mengembangkan diri
Setiap orang
berhak atas perlindungan dan kasih sayang untuk pengembangan pribadinya,
memperoleh, dan mengembangkan pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
3) Hak
keadilan
Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil.
4) Hak
keamanan
Setiap
orang berhak atas rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidakberbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan
hak miliknya.
5)
Hak kesejahteraan
Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin. Setiap orang berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
Jika
hal – hal tersebut dapat terpatri dalam sanubari masyarakat Indonesia, tentulah
tidak akan ada lagi pelanggaran – pelanggaran HAM di negeri ini, khususnya pelanggaran
HAM pada anak.
G. Langkah – langkah Untuk
Meminimalisir Pelanggaran HAM
Untuk
meminimalisir pelanggaran HAM di Indonesia dilakukan langkah-langkah berikut
ini:
1. Pendidikan HAM di Persekolahan
Departemen Pendidikan Nasional
mengacu kepada UNESCO mencanangkan pendidikan yang berbasis HAM untuk semua
jenjang pendidikan. Masalah HAM akan diimplementasikan dalam kurikulum
pendidikan. Untuk pendidikan dasar dan menengah, masalah HAM akan
diintegrasikan dalam mata pelajaran agama dan PKn (Asep Bunyamin : 2004).
Sehingga dalam sekolah tidak hanya ilmu pengetahuan saja yang diajarkan tapi
salah satunya disampaikan pula tentang Hak Asasi Manusia.Siswa akan lebih
memahami HAM ketika HAM dipelajari di persekolahan.
Ditengah banyaknya kejadian
pelanggaran HAM, para siswa akan lebih sadar jika kenyataan tersebut bisa
dipelajari secara langsung. HAM adalah sesuatu yang universal. Yang tercakup
didalam HAM adalah hak hidup, hak beragama, dan hak-hak dasar lainnya yang
orang lain-siapapun dia- tidak boleh mengganggu apalagi melanggar dan
memaksakan.
2. Model Pembelajaran
HAM oleh Guru
Model langkah-langkah pembelajaran
yang dapat dikembangkan oleh guru untuk mengadakan inkuiri dalam proses
pembelajaran HAM, sebagai berikut:
a.
merumuskan tujuan
b.
menyajikan kata-kata yang perlu dipelajari
c.
menyajikan ide-ide yang perlu dipelajari
d.
memecahkan masalah
e.
menerapkan kemampuan yang telah dikuasai
Model pembelajaran lainnya, disebut
proses inkuiri menurut Welton & Mallan (1998) memiliki langkah-langkah
sebagai berikut:
a.
menyadari adanya peristiwa yang kontroversial yang selanjutnya menjadi masalah
yang harus dipecahkan
b.
mengidentifikasi hipotesis (berupa penjelasan atau jawaban tentatif)
c.
menguji hipotesis sesua dengan data dan informasi yang diperoleh sebagai
berikut:
v Apabila
hipotesis ditolak maka masalah dapat dirumuskan kembali dan inkuiri kembali
pada langkah kedua
v Apabila
hipotesis diterima maka inkuiri dapat melanjutkan pada langkah keempat
d.
memodifikasi hipotesis menjadi kesimpulan sementara sampai data secara lengkap
terkumpul
e.
menguji kesimpulan sementara (apakah telah menjelaskan peristiwa yang
kontroversial atau tidak).
3. Program Penegakkan
Hukum dan HAM di Indonesia
Program penegakkan hukum dan HAM,
yang tercantum dalam PP nomor 7 tahun 2005, meliputi pemberantasan korupsi,
anti terorisme, pembasmian penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya, serta
penegakkan hukum dan hak asasi manusia harus dilakukan secara tegas, tidak
diskriminatif dan konsisten.
Untuk menciptakan kondisi yang lebih
kondusif dalam rangka perlindungan dan penegakkan HAM di Indonesia dilakukan
beberapa langkah, yakni: pembentukan kantor-kantor perwakilan Komisi Nasional
di daerah, meningkatkan pemahaman tentang HAM kepada masyarakat luas termasuk
aparatur negara dengan melaksanakan pendidikan dan pelatihan HAM secara
berkelanjutan (pidato kenegaraan Presiden, 2005).
4. Pencapaian Indonesia
dalam Pemajuan dan Perlindungan HAM
Ada beberapa pencapaian Indonesia
dalam pemajuan dan perlindungan HAM, menurut Hasan Wirajuda dapat diikuti dari
berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, sejak 1991 sampai
dengan 2004, diantaranya:
1.
Merintis reorientasi
kebijakan nasional di bidang HAM pada masa orde baru, Departemen Luar Negeri
bekerja sama dengan pusat HAM PBB telah menyelenggarakan serangkaian lokakarya,
yakni lokakarya nasional HAM ke-1 pada tanggal 21-22 Januari 1991, lokakarya
regional PBB ke-2 pada tanggal 26-28 Januari 1993 dan lokakarya nasional ke-3
pada tanggal 24-26 Oktober 1994.
2.
Komisi anti kekerasan
terhadap perempuan telah dibentuk pada tahun 1998 dengan Keputusan Presiden
No.181 tahun 1998 dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dibentuk pada tahun
2003 melalui Keputusan Presiden No.77 tahun 2003.
3.
Disamping mengikatkan
diri pada berbagai instrumen pokok HAM internasional, Pemerintah Indonesia juga
mengeluarkan Undang-Undang yang melindungi isutematis HAM lainnya seperti
Undang-Undang No.26 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang
No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
4.
Pemerintah Indonesia
juga telah menandatangani protokol tambahan konvensi hak anak mengenai
perdagangan, prostitusi dan pornografi anak serta keterlibatan anak dalam
konflik bersenjata dan protokol tambahan penghapusan diskriminasi terhadap
perempuan.
5. Kerjasama
Internasional dalam Bidang HAM
Kerjasama internasional baik secara
bilateral, regional dan multilateral dalam kemajuan dan perlindungan HAM,
terlihat dari berbagai kegiatan (Wesaka Puja, 2005) :
1.
Kerjasama bilateral
yang telah dilaksanakan antara lain adalah dialog Indonesia-Norwegia mengenai
HAM yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 4-5 Mei 2004. Indonesia
melakukan kerjasama dengan Norwegia dan Prancis yang dimaksudkan sebagai upaya
memperkuat berfungsinya pengadilan HAM Ad Hoc Tim Tim.
2.
Upaya lain yang
dilakukan adalah peningkatan kerjasama antara Komnas HAM Indonesia, Thailand
dan Filiphina untuk memberikan kontribusi dalam mewujudkan ASEAN security
community dan mekanisme HAM ASEAN.
3.
Dalam kancah
internasional, dalam bidang kemajuan dan perlindungan HAM, kiprah Indonesia
semakin meningkat dan semakin diakui oleh masyarakat internasional. Ini dapat
dilihat bahwa Indonesia terpilih sebagai ketua HAM dan Dubes/Watapri Jenewa.
4.
Dalam sidang-sidang PBB
mengenai HAM, posisi dasar pemerintah Indonesia adalah menolak segala resolusi
yang ditujukan kepada negara tertentu (Country
Specific Resolution). Pemerintah Indonesia selalu mengambil posisi Against
dalam pemungutan suara Country Specific Resolution.
(Ganeswara,Pendidikan
Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi : 2002. Hal 78 -101)
2.
WEBSITE
A. Pelanggaran Hak Asasi Anak di
Indonesia
Hak
asasi merupakan hak mendasar yang dimiliki setiap manusia semenjak dia lahir.
Hak pertama yang kita miliki adalah hak untuk hidup seperti di dalam Undang
Undang No. 39 tahun 1999 pasal 9 ayat (1) tentang hak asasi manusia, “Setiap
orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf
hidupnya”, ayat (2) “Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia,
sejahtera, lahir dan bathin”, dan ayat (3) “Setiap orang berhak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat.”
Meskipun
di Indonesia telah di atur Undang Undang tentang HAM, masih banyak pula
pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran HAM yang
baru-baru ini sedang marak adalah pelanggaran hak asasi perlindungan anak.
Padahal di dalamnya sudah terdapat Undang Undang yang mengatur di dalamnya,
antara lain Undang Undang No. 4 tahun 1979 diatur tentang kesejahteraan anak,
Undang Undang No. 23 tahun 2002 diatur tentang perlindungan anak, Undang Undang
No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990
diatur tentang ratifikasi konversi hak anak.
Ada
banyak kasus tentang pelanggaran hak atas anak. Salah satunya adalah
mempekerjakan anak di bawah umur. Survey terhadap pekerja seks komersial (PSK)
di lokalisasi Doli, di Surabaya ditemukan bahwa 25% dari mereka pertama kali
bekerja berumur kurang dari 18 tahun (Ruth Rosenberg, 2003).
Dunia
anak adalah dunia bermain dan belajar, dimana pada masa ini perkembangan anak dimulai.
Ini adalah salah satu tugas perkembangan anak yang seharusnya dipenuhi. Jika
tugas perkembangan ini tidak terpenuhi, maka akan menghambat bahkan merusak
tugas-tugas perkembangan selanjutnya. Melihat banyaknya pekerja anak di bawah
umur, hal ini akan membuat psikologi anak menjadi terganggu dan tugas
perkembangannya pun menjadi terhambat.
(http://www.wikipedia.com)
B.
Pengertian Pekerja Anak di
Bawah Umur
Gambar :www.google.com
Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan
anak kecil.Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak
kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil. Meskipun ada beberapa anak
yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena
anak tersebut tidak suka sekolah). Hal tersebut
tetap merupakan hal yang tidak sesuai dengan yang seharusnya karena tidak
menjamin masa depan anak tersebut.
Sedangkan,seorang laki-laki ataupun
perempuan dikatakan bawah umur,ketika umurnya masih kurang dari 18 tahun.Keberadaan pekerja anak bawah
umur ini mudah ditemukan di hampir setiap daerah di perkotaan. Pada umumnya
tingkat pendidikan pekerja anak bawah umur
hanya sampai SD dan jarang sekali ditemukan mengkombinasikan sekolah
sambil bekerja atau sampai lulus SMA. Anak-anak ini direkrut dari kampung atau
desa di luar kota, berasal dari keluarga miskin, oleh penyalur atau kerabat
dekat atau yang dikenalnya ditempatkan pada majikan (pengguna). Dalam
pekerjaannya, pekerja anak bawah umur
memperoleh tugas mengerjakan pekerjaan rumahan, mengamen, jadi jokey, buruh pabrik, dagang asongan, tukang koran, hingga PSK. Semestinya calon
pekerja mengikuti pelatihan dulu, namun umumnya mereka langsung ditempatkan
pada majikan.
Menurut survey ILO tahun 2005
terdapat 688.132 PRTA atau 34,82% dari total PRT, yaitu sebanyak 2.593.399 jiwa
pekerja anak yang tersebar di seluruh
Indonesia. Sebagian besar pekerja anak bawah umur bekerja 7 hari dalam seminggu, dalam jam
kerja yang jauh lebih panjang dari pekerja di sektor mana pun. Sepanjang tahun
2003 terdapat 17 kasus kekerasan atas pekerja anak bawah umur, hampir
80%mengakibatkan gangguan tumbuh kembang anak.Anak-anak yang bekerja rata-rata berpendidikan rendah (SD atau SMP).
Dari data International Labour Organization, International Programme on the
Elimination of Child Labour (ILO-IPEC), tahun 2005, terdapat 53% pekerja anak
bawah umur di Indonesia yang berusia antara 12-18 tahun tidak pernah bersekolah
atau tidak lulus sekolah dasar. Dan 47% yang berpendidikan SMP dan SMA (lulus
dan tidak lulus).
C.
Faktor Penyebab Munculnya
Pekerja Anak di Bawah Umur
Gambar :www.google.com
Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan
anak kecil. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak
kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil. Meskipun ada beberapa anak
yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena
anak tersebut tidak suka sekolah), hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak
sesuai dengan yang seharusnya karena tidak menjamin masa depan anak tersebut.
Namun di balik hal tersebut banyak juga kebutuhan para pekerja anak yang harus
dipenuhi, seperti keperluan makan sehari-hari dan mereka juga sering berpikir
untuk meringankan beban orang tuanya.
Selain hal-hal yang
di atas ada juga faktor-faktor yang mendukung yang menspekulasikan bahwa anak
itu boleh bekerja sejak dini walapun dia kehilangan rasa ke kanak-kanakannya.
Dan hal tersebut dapat di dukung dari adanya
berbagai persepsi orang tua dan masyarakat yang mengartikan bahwa anak
bekerja tidak buruk serta kebanyakan anak juga mengatakan salah satu cara kami
menunjukan bakti pada orangtua adalah dengan bekerja mengikuti orangtuanya membanting
tulang selain itu juga merupakan bagian dari sosialisasi pada masyarakat namun
di sisi lain banyak anak yang berkata bahwa bekerja sejak dini dapat melatih
kinerja mereka karena dari bekerja sejak dini mereka memperoleh pengalaman
sehingga mereka jadi lebih berpotensi dalam hal bekerja dan juga banyak
orangtua yang bilang bahwa anak bekerja itu merupakan salah satu sikap tanggung
jawab anak untuk membantu pendapatan keluarga.
Jadi menurut pandangan orangtua
jika anak mereka yang rata-rata lulusan SLTP bekerja menjadi PRT, Dagang,
Maupun mengemis bukan lah hal yang salah. Karena keterbatasan-keterbatasan itu
lah yang membuat para orangtua merelakan anak-anaknya bekerja pada orang lain
dan bahkan ada juga yang berkeliaran di jalanan untuk mengamen dan mengemis.
Dibalik hal itu semua sebenarnya mereka tidak menginginkan anak mereka bekerja
menjadi buruh seperti orang tuanya namun mereka menginginkan anak mereka
tersebut menjadi anak yang bisa mengangkat derajat martabat keluarga. Tapi
mungkin juga kita harus kembali lagi pada hal yang paling utama dalam kehidupan
sehingga dengan rasa berat hati semua orangtua tersebut merelakan anka-anak
mereka kehilangan masa kanak-kanaknya dan malah membantu mereka untuk bekerja.
Gambar :www.google.com
Tapi faktor yang paling mendasar dalam kejadian ini
adalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu alasan orang tua mengirimkan
anak-anaknya untuk bekerja di kota bahkan merelakan juga anaknya untuk bekerja
di jalanan. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh para agen-agen (calo)
merekrut anak-anak desa untuk bekerja di kota. Keberadaan para agen tumbuh
subur di desa-desa miskin yang penduduknya tidak mempunyai kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Para agen berusaha mempengaruhi keluarga
untuk mengirimkan anak-anak ke kota bekerja sebagai pekerja rumah tangga anak.
Biaya transportasi dan biaya kebutuhan lain ditanggung oleh agen.
Orang tua PRTA biasanya senang
mengirimkan anak-anaknya dan mereka percaya anaknya akan mendapat pekerjaan dan
majikan yang baik. Sehingga orang tua berharap, anaknya dapat mengirimkan uang
ke kampung. Harta yang paling berharga yang mereka miliki hanya anak dan mereka
bekerja hanya mampu menjadi seorang PRTA dikarenakan mereka lulusan SLTP.
Kemiskinan yang marak tersebutlah yang menjadikan anak-anak remaja bekerja.
Serta setidaknya
setiap tahun terdapat jutaan anak di Indonesia usia 15-18 tahun yang telah
menamatkan SLTP, tetapi tidak dapat melanjutkan atau tidak tertampung di SMU
yang dominannya dikarenakan tidak adanya biaya untuk masuk ke jenjang yang
lebih tinggi, serta anak-anak yang putus sekolah di SLTP telah membanjiri
angkatan kerja terutama di indonesia ini. Oleh demikian pekerjaan rumah tangga
merupakan salah satu sektor pekerjaan yang tidak memerlukan kualifikasi
pendidikan dan keahlian yang tinggi, pekerjaan ini dapat menampung dan menyerap
mereka dalam jumlah besar. Dan juga tidak
merendahkan martabat serta hargadiri mereka dibandingkan menjadi pengamen dan
pengemis di jalanan. Selain itu juga dikarenakan lemahnya sistem hukum dan
penegakan hukum di negara kita ini menjadi salah satu faktor terbesar anak di
bawah umur dapat bekerja. Selain belum adanya undang-undang yang memberikan
jaminan dan perlindungan hukum, lemahnya hukum dan kurangnya penegakan hukum
terhadap pelanggaran mempekerjakan anak, menjadikan anak sebagai target para
agen, penyalur, dan majikan untuk direkrut sebagai pekerja, khususnya pekerja
rumah tangga anak. Banyak pengguna jasa (majikan) yang lebih suka mempekerjakan
anak-anak alasannya adalah anak lebih mudah diatur, tidak melawan, apa adanya,
tidak ada cuti hamil, cuti melahirkan, mudah dibohongi dan ditipu serta
bayaranya lebih murah dibandingkan dengan PRT dewasa.
Faktor yang lain bisa datang dari
diri anak tersebut sendiri. Terlepas dari ingin meringankan beban orang tua,
ada sebagian anak yang memang senang bisa mempunyai penghasilan sendiri dan
bisa membeli segala macam kebutuhannya tanpa meminta kepada orang tuanya dan
ada rasa kebanggan tersendiri. Selain itu, mereka cenderung tidak ingin
melanjutkan sekolah bukan hanya karena tidak mempunyai biaya tapi juga dari
diri mereka sendiri yang merasa malas untuk bersekolah dan merasa kurang nyaman dengan kegiatan persekolahan sehingga
lebih memilih untuk mencari pekerjaan saja, salah satunya menjadi pekerja rumah
tangga.
D. Dampak Negatif yang Dapat
Dialami Pekerja Anak Bawah Umur
Gambar :www.google.com
Pekerja anak bawah
umur rentan mengalami tekanan serta
perilaku tidak adil dari majikannya. Hal itu dikarenakan mereka pada umumnya masih muda dan dianggap masih
lugu. Beberapa hal yang rentan dialami oleh pekerja anak bawah umur adalah sebagai berikut :
a.
Eksploitasi:
dipekerjakan dengan waktu kerja yang tidak jelas dan sangat panjang dengan
pemberikan upah yang tidak sesuai; atau tidak diberikan upah dan juga tidak
diberi hari libur. Biasanya kerja paksa sering terjadi ketika anak sudah berada
di tempat kerja, dan tidak bisa meninggalkan pekerjaan itu meskipun mereka
tidak menyukai. Sebagai contoh, misalnya melakukan
semua atau sebagian pekerjaan tetapi tidak ada imbalan gaji, jam kerja melebihi
8 jam sehari. Pada umumnya mereka hanya diam saja, menerima, takut karenammendapatmancaman.
b.
Kekerasan meliputi:
·
Fisik, seperti
pemukulan, penganiyaan, disiram air panas, disterika, disundut
rokok, dicambuk dan lain-lain.
rokok, dicambuk dan lain-lain.
·
Psikis, seperti dimaki,
dicela, diberikan panggilan yang tidak baik berupa
hinaan fisik atau direndahkan.
hinaan fisik atau direndahkan.
·
Ekonomi, seperti
pemberian upah tidak sesuai dengan perjanjian kerja atau
ditangguhkan dengan alasan pengguna jasa tidak ada uang bahkan upah tidak dibayar.
ditangguhkan dengan alasan pengguna jasa tidak ada uang bahkan upah tidak dibayar.
·
Seksual, seperti
dirayu, dipegang, dipaksa oral seks, pelecehan seksual,sampai upaya perkosaan.
c.
Kurangnya kesempatan
bermain anak–anak yang sudah bekerja sebagai pekerja sulit bahkan tidak mungkin
untuk bermain dengan teman-temannya. Mereka dapat bermain bila ke pasar atau
mengasuh anak majikan atau bertemu dengan temannya.
d.
Terhambatnya tumbuh
kembang dan akses kesehatan
Masa anak-anak
adalah masa tumbuh kembang yang harus mendapatkan pemenuhan gizi yang cukup,
berinteraksi, aktualisasi diri dengan lingkungan dan bila sakit mendapatkan
pelayanan kesehatan yang baik.Namun hal ini sulit dipenuhi, sehingga kondisi
kesehatannya kurang terperhatikan.
e.
Kurangnya Istirahat dan
rekreasi
Pekerja anak jarang bawah umur jarang mendapatkan
istirahat yang cukup. Mereka bekerja rata-rata hampir 18 jam setiap hari, tanpa
hari libur, dan cuti.Pekerja anak bawah umur dapat beristirahat tidur atau
nonton TV dan melakukan rekreasi, jika majikan pergi keluar rumah.
f.
Masa depan yang kurang
pasti
Hak–hak pekerja anak bawah umur yang terabaikan dan
tidak terpenuhi, berdampak pada Pekerja anak bawah umur tidak dapat tumbuh
kembang dengan baik dan wajar. Ini berakibat pada masa depan dan cita-cita
mereka tidak dapat terwujud.
(http://www.lbh-apik.or.id/fact-62%20PRTA.htm)
E. Peraturan
dan Undang-Undang yang Berkaitan dengan
Perlindungan Terhadap Pekerja Anak Bawah Umur
Walaupun di Indonesia belum ada
undang-undang yang secara khusus membahas mengenai PRTA, namun ada beberapa
peraturan dan undang-undang yang dapat memberikan perlindungan mengenai
keberadaan pekerja rumah tangga anak, di antaranya adalah sebagai berikut :
A. UU NO 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Secara
tegas memberikan perlindungan terhadap anak dari segala bentuk perlakuan salah,
eksploitasi ekonomi, kekerasan, dan perdagangan anak.
1.
{pasal 9 (1)} Setiap
anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual dan social.
2.
(pasal 11) Setiap anak
berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak
sebaya, bermain, berkreasi, sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya
demi pengembangan diri.
3.
(Pasal 12) Setiap anak
selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman,
kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.
4.
{pasal 16 (1)} Setiap
anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
5.
{pasal 17 (1)} Setiap
anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
·
mendapatkan perlakuan
secara manusiawi dan penenpatannya dipisahkan dari orang dewasa
·
memperoleh bantuan
hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang
berlaku; dan
·
membela diri dan
memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak
dalam sidang tertutup untuk umum.
6.
(pasal 20) Negara,
pemerintah, masyarkat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
7.
(pasal 21) Negara dan
pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak
asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan , jenis kelamin,
etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi
fisik dan atau mental.
B.
Undang-Undang NO. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Mengatur mengenai hak-hak (seperti upah/
gaji) seseorang yang bekerja sebagai tenaga kerja.
C.
Undang-Undang NO. 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO NO.
182
Pelarangan dan tindakan segera
penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak:
“Segala bentuk perbudakan atau praktik sejenis perbudakan
seperti penjualan dan perdagangan anak dan penghambaan serta kerja paksa atau
wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara atau wajib untuk dimanfaatkan
dalam konflik bersenjata”.
(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0401/14/humaniora/802345.htm)
3.
IFORMAN
Berikut ini adalah hasil wawancara kelompok kami kepada
beberapa pekerja rumah tangga dan majikan :
1.
Aini (15), pekerja
rumah tangga anak di Bandung
T : Apakah kamu pernah bersekolah?
J : Pernah,lulus SD aja trus langsung kerja.
T : Apa alasan kamu bekerja ?
J : Ingin cari uang buat bantu orang tua membangun rumah, trus mau ke Bandung cari pengalaman.
T : Bagaimana tanggapan orang tua ?
J : kasih2 aja sih, lagian orangtua juga merasa lebih ringan bebannya
T : Sudah berapa lama bekerja dan apa saja yang dikerjakan?
J : Baru 2 bulan kerja disini sebelumnya pernah kerja dikampung, jagain anak-anak, disini saya merawat anak,menyuci,menggosok trus membantu memasak.
T : Bagaimana perlakuan majikan kepada kamu selama bekerja?
J : Baik-baik saja, soalnya masih diajar-ajarin khan saya masih baru di sini.
T : Apakah anda tahu tentang larangan bagi anak di bawah umur untuk bekerja ?
J : Saya tidak tahu.
T : Apakah kamu pernah bersekolah?
J : Pernah,lulus SD aja trus langsung kerja.
T : Apa alasan kamu bekerja ?
J : Ingin cari uang buat bantu orang tua membangun rumah, trus mau ke Bandung cari pengalaman.
T : Bagaimana tanggapan orang tua ?
J : kasih2 aja sih, lagian orangtua juga merasa lebih ringan bebannya
T : Sudah berapa lama bekerja dan apa saja yang dikerjakan?
J : Baru 2 bulan kerja disini sebelumnya pernah kerja dikampung, jagain anak-anak, disini saya merawat anak,menyuci,menggosok trus membantu memasak.
T : Bagaimana perlakuan majikan kepada kamu selama bekerja?
J : Baik-baik saja, soalnya masih diajar-ajarin khan saya masih baru di sini.
T : Apakah anda tahu tentang larangan bagi anak di bawah umur untuk bekerja ?
J : Saya tidak tahu.
2.
Ika
(17 tahun), pekerja rumah
tangga anak di Geger Kalong
T : Apakah kamu pernah bersekolah?
J : pernah sampai kelas 3 SD saja
T : Apakah kamu pernah bersekolah?
J : pernah sampai kelas 3 SD saja
T : Apa alasan kamu bekerja ?
J : mau membantu orangtua mencari uang
T : Bagaimana tanggapan orang tua ?
J : setuju sekali, karena adik saya masih kecil-kecil dan butuh biaya
T : Sudah berapa lama bekerja dan apa saja yang dikerjakan?
J : Sudah 1 tahun lebih. Saya biasa mencuci, menggosok, menyapu, mengepel, bantu masak, belanja, ya..intinya bersih-bersih rumah
T : Bagaimana perlakuan majikan kepada kamu selama bekerja?
J : ya...namanya majikan kadang suka ngomel tapi ada baiknya
T : Apakah anda tahu tentang larangan bagi anak di bawah umur untuk bekerja ?
J : mau membantu orangtua mencari uang
T : Bagaimana tanggapan orang tua ?
J : setuju sekali, karena adik saya masih kecil-kecil dan butuh biaya
T : Sudah berapa lama bekerja dan apa saja yang dikerjakan?
J : Sudah 1 tahun lebih. Saya biasa mencuci, menggosok, menyapu, mengepel, bantu masak, belanja, ya..intinya bersih-bersih rumah
T : Bagaimana perlakuan majikan kepada kamu selama bekerja?
J : ya...namanya majikan kadang suka ngomel tapi ada baiknya
T : Apakah anda tahu tentang larangan bagi anak di bawah umur untuk bekerja ?
J : tidak tahu.
3.
Nani
(52 tahun), majikan, Ibu Rumah Tangga
di daerah Geger Kalong.
T : Mengapa anda memilih anak berumur belasan untuk bekerja ?
J : karena lebih mudah diatur untuk disuruh-suruh, lebih polos juga kaga macem-macem.
T : Bagaimana anda dapat memperkerjakan anak tersebut menjadi PRT ?
J : pembantu saudara saya yang menawarkan anak itu untuk bekerja.
T : Adakah perlakuan khusus terhadap pembantu anda (PRTA)?
J : Biasa saja sih, sama kaya pembantu sebelumnya.
T : Apakah anda tahu tentang larangan bagi anak di bawah umur untuk bekerja ?
J : tidak tahu.
T : Mengapa anda memilih anak berumur belasan untuk bekerja ?
J : karena lebih mudah diatur untuk disuruh-suruh, lebih polos juga kaga macem-macem.
T : Bagaimana anda dapat memperkerjakan anak tersebut menjadi PRT ?
J : pembantu saudara saya yang menawarkan anak itu untuk bekerja.
T : Adakah perlakuan khusus terhadap pembantu anda (PRTA)?
J : Biasa saja sih, sama kaya pembantu sebelumnya.
T : Apakah anda tahu tentang larangan bagi anak di bawah umur untuk bekerja ?
J : tidak tahu.
C.
KEBIJAKAN PUBLIK
Kebijakan publik sebagai salah satu kewenangan
atribusi fungsi pemerintahan dalam proses pembuatannya tidak terlepas
dari konteks relasi faktor-faktor yang melingkupinya.
Dalam pandangan Ripley, kebijakan publik itu diartikan sebagai apa saja yang
diucapkan (says) dan apa saja yang dilakukan (does) oleh
pemerintah tentang suatu persoalan. Artinya, kebijakan publik itu bisa berupa statement
atau tindakan nyata pemerintah untuk memecahkan permasalahan publik.
Dalam konteks pemenuhan hak anak, pengembanan fungsi
negara tersebut nampak pada politik negara dalam menetapkan kebijakan publik
yang terformulasikan di dalam regulasi dan anggaran publik. Pemenuhan hak
anak ditandai dengan terdapatnya regulasi dan alokasi anggaran publik
yang secara khusus ditujukan untuk melidungi dan memenuhi hak-hak anak.
Namun jika melihat realita yang ada, situasi dan
kondisi anak-anak di Indonesia jauh dari kondisi yang diidealkan dalam instrumen
hukum hak asasi manusia tersebut. Artinya terdapat kesenjangan antara apa yang
seharusnya diidealkan oleh tatanan hukum tersebut dengan implementasinya dalam
kehidupan anak-anak.
Negara perlu menetapkan pendekatan khusus agar
anak-anak dapat menikmati sebesar mungkin hak asasi mereka.
Tindakan afirmatif (affirmative action) menjadi signifikan dilakukan
oleh negara. Tindakan afirmatif adalah kebijakan, peraturan, atau program
khusus yang bertujuan untuk mempercepat persamaan posisi dan kondisi yang adil
bagi kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan lemah secara sosial dan
politik. Tindakan ini merupakan suatu koreksi dan kompensasi atas diskriminasi,
marjinalisasi, dan eksploitasi yang dialami oleh kelompok masyarakat tersebut
agar memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna tercapainya kesetaraan
dan keadilan pada semua bidang kehidupan. Tindakan-tindakan afirmatif tersebut meliputi
:
1. Memastikan
bahwa semua peraturan perundang-undangan secara penuh berkesesuaian dengan
prinsip-prinsip dan ketentuan KHA ;
2. Membuat
suatu strategi nasional secara komprehensif guna memenuhi dan melindungi
hak-hak anak ;
3. Pengalokasian
dan analisis anggaran publik berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak.
Tindakan afirmatif apabila ditarik lebih jauh merupakan
implementasi kebijakan publik dalam menyikapi suatu permasalahan publik.
Merujuk pada konsepsi tersebut, maka pemenuhan dan
perlindungan hak-hak anak menjadi tanggung jawab negara. Dengan demikian,
tindakan afirmatif merupakan kewenangan yang seharusnya dipilih oleh pejabat
publik dalam menanggapi permasalahan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak.
Penyusunan anggaran publik berbasis pemenuhan hak merupakan salah satu
perwujudan tindakan afirmatif yang semestinya dilakukan Pemerintah.
- Peran strategis pemerintah sebagai penentu kebijakan
Sebagai
pengatur perundang-undangan peran pemerintah dalam mensejahterakan wargannya
sangat penting dilakukan. Menurut hill yang dimaksud dengan kebijakan sosial
adalah strudi mengenai peran negara/pemerintah dalam kaitannya dengan
kesejahteraan wargannya. Ada 3 metode kebijakan sosial yang dikenal umum untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial. Pertama, berupa program pelayanan sosial
yang secara langsung dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Metode
ini paling umum digunakan karena mempunyai formula yang jelas untuk mengatasi
masalah sosial. Kedua, upaya untuk menyejahterakan warga negara dilakukan
melalui produk perundang-undangan (statutory regulation). Misalnya
pemerintah menetapkan UMK (upah minimum kabupaten) sebagai peraturan minimal
upah buruh di setiap kabupaten. Ketiga, peningkatan kesejahteraan juga dapat
dilakukan melalui sistem pajak. Penggunaan sistem pajak ini dikenal dengan
istilah kesejahteraan fiskal (fiscal welfare). Di indonesia, dana pembangunan
sosial juga ada yang berasal dari dana pajak misalnya untuk anggaran
pendidikan. Harapan hubungan antara perusahaan dan pemerintah bisa sinergis.
Pemerintah sebagai kontroling, perusahaan-perusahaan bisa mengefektifkan
kinerjanya agar bisa optimal dalam menangani masalah kesejahteraan rakyat.
2.
Kebijakan sosial
perusahaan
Pihak
perusahaan inilah yang paling bertanggung jawab terhadap karyawannya. Dimana
tenggung jawab perusahaan, sehingga bisa menerima karyawan dibawah umur,
bagaimana pola rekrutmen pekerja dan strategi apa yang diterapkan guna
menyuplay tenaga kerja.
Kebanyakan
pengumuman lowongan secara terbuka tidak muncul dalam perusahaan-perusahaan
itu. Akan tetapi cara gate-hiring*) adalah umum untuk rekrutmen pekerja.
Melalui kontak-kontak dekat dengan teman-teman, sanak saudara atau kelurga para
pekerja yang sudah terlebih dahulu bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut,
para pemilik/majikan mengumumkan adanya lowongan pekerjaan.
Mengapa
perusahaan bisa menerima karyawan di bawah umur? Kebanyakan dari pelamar
menambah umur mereka dengan mengisi pada formulir pendaftaranya sesuai tahun
usia produktif layaknya pekerja dewasa. Manipulasi umur itu dilakukan agar
seolah-olah tidak terjadi pelanggaran. Pihak perusahaan pun seoalah menutup
mata dan sama sekali tidak mempersoalkannya. Disinilah letak masalahnya,
perusahaan seharunya melakukan kebijakan sosial perihal keryawan khususnya
masalah perekrutan tenaga kerja. Gilbert dan terrell (2001) mengatakan bahwa
kebijakan sosial meliputi proses dan produk. Sebagai proses kebijakan sosial
adalah serangkaian tahapan yang diikuti oleh pemecahan masalah sedangkan
sebagai produk kebijakan sosial adalah hukum, program, maupun keputusan
pengadilan. Perusahaan harus melakukan evaluasi antara keduannya agar kebijakan
sossial berjalan secara efektif (DU Bois dan Miley, 2005:252)
3.
Partisipasi masyarkat
sebagai director of change
Mengapa
masyarakat sebagai pengendali perubahan? Sebelum era industri masyarakat sangat
menjaga nilai-nilai budaya setempat berbagai kegiatan sosial dilakukan guna
meningkatkan soslidaritgas bersama setelah era industrialisasi nilai-nilai yang
ada mulai redup, kegiatan-kegiatan sosial pun mulai jarang diadakan yang
berkembang adalah nilai individualisme. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi
dari pada sosial. Dengan demikian perlulah pengembangan masyarakat. Barker
(2002:84) membuat catatan bahwa pengembangan masyarakat dilakukan oleh
profesional mengembameningkatkan ikatan sosial antara anggota masyarakat,
memotivasinya untuk dapat membantu dirinya sendiri (self-help), mengembangkan
kepemimpinan lokal yang bertanggung jawab atau melakukan revitalisasi terhadap
institusi lokal. Terkait dengan eksplotitasi anak, setelah pengembangan
masyarakat dilakukan, diharapkan masyarakat sadar akan pentingnya pemenuhan
hak-hak anak. mereka harus bertindak jika terjadi eksploitasi anak baik secara
terang-terangan maupun secara halus. Pertisipasi dan dukungan dari berbagai
pihak sangat diperlukan jika kita benar-benar mempunyai hati nurani dan tidak menginginkan
aset bangsa kita tergadaikan oleh industrialisasi maka kita harus bergerak
bersama melawan ketidakadilan menuju kesejahteraan bersama.
Kebijakan Nasional
Mengenai perlindungan pekerja anak, sebetulnya pihak
pemerintah telah bekerjasama dengan ILO, membuat program penghapusan
kerja-kerja terburuk untuk anak, termasuk perlindungan, pemenuhan dan
penghormatan terhadap hak anak, seperti hak untuk memperoleh pendidikan,
bermain dan sebagainya. Kemudian juga telah dibentuk Komisi program tersebut.
Namun, ternyata masih saja ada persoalan pendidikan pekerja anak. Terutama
anak-anak yang bekerja di sektor informal dan industri rumah tangga. Jumlah
anak-anak dalam sektor ini demikian banyak dan setiap tahun bertambah, sehingga
seringkali tidak tercatat secara pasti berapa jumlahnya. Mereka lah yang
seringkali hak pendidikannya terabaikan.
Pemerintah melalui Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di
daerah-daerah, telah membentuk Rumah Perlindungan Anak (RPA), untuk melindungi
anak-anak seperti ini. Beberapa lembaga sosial atau lembaga swadaya masyarakat,
juga telah membuat pelatihan atau pendidikan ketrampilan dan penyetaraan
tingkat pendidikan untuk anak-anak ini. Namun, kenyataannya pemenuhan atas hak
pendidikan bagi mereka beberapa kali sulit dilaksanakan. Hal ini dikarenakan
belum adanya kesadaran pendidikan sebagai suatu hak, sebagai warganegara (pasal
31 UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang menjamin hak atas “pendidikan dasar” (SD-SMP) bagi warga negara
berusia tujuh hingga lima belas tahun. Dan juga kesadaran pendidikan sebagai
suatu hak yang mendasar yang dimiliki setiap manusia yang dilahirkan, sesuai
dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 26, bahwa setiap orang berhak
atas pendidikan secara cuma-cuma.
Kesadaran atas pendidikan sebagai hak, yang belum muncul
di kalangan masyarakat. Tidak hanya berada pada tingkat ‘majikan’ namun juga
keluarga anak dan masyarakat sekitar tempat tinggal si anak. Pendidikan sebagai
hak lebih dipandang sebagai suatu isu mengenai HAM yang tidak lekat dengan
kehidupan masyarakat, terutama masyarakat miskin. Karena itu dalam pemenuhan
hak pendidikan untuk para pekerja anak, terutama di sektor informal dan
industry rumah tangga, perlu dipikirkan bentuk pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan para pekerja anak, dengan melihat persoalan sehari-hari
yang mereka hadapi. Persoalan lemahnya ekonomi keluarga, sehingga memaksa anak
untuk bekerja menambahi ekonomi keluarga, akan bersentuhan dengan hak atas
standar kehidupan yang memadai (Pasal 25, DUHAM), dimana kebanyakan keluarga di
Indonesia memiliki penghasilan dibawah 2 dollar per hari. Dan juga bersentuhan
dengan hak atas jaminan sosial dan ekonomi (Pasal 22, DUHAM), dimana seharusnya
ekonomi keluarga dan sistem sosial terkecil yaitu keluarga dijamin oleh negara.
Oleh karena itu, dalam upaya pemenuhan hak pendidikan
untuk para pekerja anak, dibutuhkan kerjasama antara sektor sosial dan ekonomi.
Perusahaan atau institusi apapun yang mempekerjakan anak-anak, seharusnya menjamin
hak ekonomi, pendidikan dan sosial sekaligus. Dan pemerintah seharusnya juga
menjamin ketiganya, agar si anak-anak tidak terjebak dalam suatu pekerjaan
selain pekerjaan di rumahnya, yang seringkali mengeksploitasi mereka. Kemudian
peran lembaga sosial atau swadaya masyarakat, sebagai perwakilan dari
masyarakat sipil, juga seharusnya menjamin ketiga hal tersebut. Mereka dapat
bekerjasama dengan kedua pihak yaitu perusahaan dan pemerintah. Atau
menyelenggarakan secara swadaya, unit ekonomi bagi masyarakat miskin, lembaga
pendidikan yang gratis atau murah, dan menjaga keseimbangan sosial. Misalnya
dengan melakukan penyadaran mengenai jaminan hak ekonomi, sosial dan pendidikan
di masyarakat. Tanpa langkah nyata, pendidikan sebagai hak kemudian hanya menjadi
impian semata, terutama bagi pemenuhan Hak Anak. (html: 9)
Kemudian tindakan
pemerintah yang lainnya adalah peningkatan program pendidikan gratis sebagai
salah satu upaya yang harus dilakukan guna mengurangi jumlah pekerja anak
dibawah umur."Kami menilai anak-anak tersebut terpaksa harus bekerja
karena miskin dan tidak sekolah," kata Menakertrans Muhaimin Iskandar di
Lokakarya Nasional Meninjau Status Saat ini dan Perencanaan Penghapusan Pekerja
Anak di Masa Depan di Jakarta, akhir pekan lalu. Hal ini dapat dilakukan
bersama-sama dengan pemerintah maupun non pemerintah," ujarnya.Survei
nasional tentang pekerja anak yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) di
Indonesia yang juga menggandeng International Labour Organization (ILO) pada
bulan Agustus 2009, menyebutkan bahwa ada 4 juta anak usia 5-17 tahun yang
secara ekonomi aktif.
Dibawah ini ada beberapa
kebijakan publik di kalangan pemerintah daerah tentang fenomena pekerja anak di
bawah umur.
Kebijakan Publik di Jakarta
Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, pernah pula menggunakan pendekatan
law enforcement untuk menertibkan pekerja anak di sektor informal, terutama
anak-anak jalanan, dengan berpegang pada Perda nomor 11 tahun 1988 tentang
ketertiban umum di wilayah Jakarta, dan keputusan gubernur KDKI Jakarta No.
1738 tahun 1993 tentang pembentukan Tim Satuan Tugas Pembinaan dan Pengendalian
Pedagang Asongan di wilayah Jakarta, dan keputusan gubernur No. 238 tahun 1988
tentang Pelaksanaan Operasi Penertiban dan Pembinaan terhadap Gelandangan, Pengemis,
Pedagang Asongan, dan Pengamen Bis Kota. Hasilnya, hingga detik ini Pemda DKI
tidak juga mampu menghapuskan pekerja anak pada kategori tersebut. Bahkan,
pendekatan law enforcement tersebut justru hanya mempersulit dan merugikan
pekerja anak itu sendiri. Sebab dengan pemberlakuan peraturan tersebut,
otomatis kegiatan pekerja anak-anak ini menjadi ilegal sehingga dimana-mana
terjadi pengusiran dan penyitaan barang.
Pengalaman negara Bangladesh memberikan contoh betapa tujuan mulia sebuah
hukum tidak selalu berdampak positif bagi pekerja anak-anak. Rancangan Undang-
Undang Harkin yang diperkenalkan ke Kongres Amerika pada tahun 1972 dengan
tujuan melarang impor barang-barang yang diproduksi anak-anak berusia dibawah
15 tahun, dan diberlakukan sejak September 1996, menyebabkan industri pakaian
di Bangladesh kalang kabut yang mana enam puluh persen dari produknya yang
bernilai 900 juta dolar AS diekspor ke Amerika Serikat. Untuk melindungi
produksi, maka pekerja anak-anak yang kebanyakan perempuan segera dipecat dari
pabrik-pabrik pakaian jadi. Suatu studi yang disponsori oleh
organisasi-organisasi internasional, akhirnya menemukan bahwa beberapa anak
dipecat, bekerja di tempat-tempat yang lebih membahayakan. Seperti di
bengkel-bengkel yang tidak aman dimana merena dibayar rendah, atau di
tempat-tempat pelacuran (Bellamy, 1997). (html: 18)
Kebijakan Publik di Papua
Provincial Programme ILO untuk Papua dan Papua Barat, Education and Skills
Training for Youth Employment (EAST) Project, Hirania Wiryasti, kepada JUBI
pada acara Lokakarya Penghapusan Pekerja Anak di Kabupaten Jayapura mengatakan,
berdasarkan data Kementrian Sosial tahun 2008, Provinsi Papua memiliki jumlah pekerja anak yang sangat
tinggi.
Dia menjelaskan, banyak motif
sehingga seorang anak bergelut dengan dunia pekerjaan. “Anak bekerja adalah
kebiasan dalam suatu rumah tangga yang bisa dimaklumi dengan batasan tertentu,
misalnya membantu bekerja orang tua di rumah,
asalkan jangan menjadi tulang punggung untuk mencari nafkah. itu namanya
eksploitasi terhadap hak anak, yang mengakibatkan seorang anak tidak mampu
mendapatkan haknya,” kata Hirania. Dia mengatakan, pekerjaan ada karena
terhipit ekonomi keluarga. Anak yang
seharusnya sekolah terpaksa menjadi pemulung, penjual koran, petugas parkir
liar, pemilah sampah, buruh tani dan perkebunan, pembantu rumah tangga, pelayan toko dan
restoran, pendorong gerobak di pelabuhan dan pasar, penjual platik di pasar,
kuli angkut, nelayan, buruh bangunan
maupun sebagai penjual sayuran
”Untuk penghapusan pekerja anak, kita akan melakukan monitoring dan
melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) guna memperluas akses pendidikan bagi anak untuk mendapat haknya,” ujarnya.
“Memakai jasa anak anak kecil
sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh negara-negara kaya sebagai
pelanggaran hak asasi anak. “Dasar hukum bagi pekerja anak jelas sudah ada,
oleh karena itu jelas ada sanksi bagi
pihak yang mempekerjakan seorang anak sebagai pekerja,” ujarnya
Bagi kalangan aktivis anak di dunia, Hari Buruh sedunia selalu menyuarakan
agar stop mempekerjakan anak. Mereka menyerukan agar
pemerintah menanggulangi kemiskinan, strategi perencanaan pendidikan,
serta membangun komitmen politik plus peran serta masyarakat luas untuk
mengatasi pekerja anak.
Sejak konvensi ILO Nomor 182 tentang bentuk terburuk pekerja anak
telah dirativikasi oleh lebih dari 90 persen dari 182 negara-negara
angota ILO, dan jutaan pekerja anak telah merasakan tujuan konvensi untuk
menentang praktek keterlibatan anak dalam pornograafi, rekruitmen paksa,
ataupun wajib dalam konflik bersenjata dan segala bentuk pekerja anak yang
mungkin bisa membahayakan kesehatan, keselamatan, dan moral anak-anak.
Akibat dari adanya pekerja anak membuat suatu ligkaran kemiskinan yang yang
terus berlanjut serta menghalagi keluarga maupun bangsa untuk meraih potensi
maksimal.
Pemerintah sekarang ini melakukan suatu strategi terhadap perlindungan
sosial yang membantu keluarga miskin yang dikenal di Indonesia dengan sebutan
program ‘keluarga
harapan’. Selain itu untuk menghindari perkembangan pekerja anak, perlu
membangun komitmen politik masyarakat luas untuk mengatasi pekerja anak. Baik
pengusaha dan organisasi pekerja telah menjadi penyokong aktif penerapan
konvens ILO dan jika ingin meningkatkan kepedulian nasional terhadap pekerja
anak maka perusahaan dan organisasi pekerja harus terlibat, selain pemerintah,
mitra sosial juga menjadi penyokong yang paling terorganisir dan paling efektif
untuk melakukan aksi ini. Organisasi
masyarakat
lokal sangat diharapkan ikut berperan dalam komunitas dimana isu pekerja anak
ada.
Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil.
Istilah pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji
yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya,
kesehatan, dan prospek masa depan. Di beberapa negara, hal ini dianggap tidak
baik bila seorang anak di bawah umur tertentu, tidak termasuk pekerjaan rumah
tangga dan pekerjaan sekolah. Seorang ‘bos’ dilarang untuk mempekerjakan anak
di bawah umur, namun sangat tergantung dari peraturan negara tersebut.
Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja karena
bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah, hal
tersebut tetap merupakan sesuatu yang
tidak diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kadisnakertrans) Kabupaten
Jayapura, Helena CH.Holle, mengatakan, anak adalah pilar pembangunan bangsa.
Sayangnya, kata dia, dalam kehidupan
sehari-hari, anak justru menjadi tulang punggung keluarga. Kondisi yang
membahayakan tumbuh kembang anak.
“Berdasarkan pengamatan dan data yang kami dapat dari setiap perusahaan,
sejauh ini belum ditemukan ada pekerja anak,” ujarnya.
Di Kabupaten Jayapura telah akan dibentuk Komisi Aksi Penghapusan
Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerja Anak. ”Langkah ini dilakukan sesuai dengan surat keputusan dari Bupati Kabupaten
Jayapura terhadap respons Permendagri nomor 6 tahun 2009,” ujarnya.
Data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, per Maret 2009 menyebutkan,
Kabupaten Jayapura memiliki jumlah penduduk sebanyak 134.013 jiwa. Terdiri dari
anak usia sekolah mencapai 44.761 orang. Sementara data Badan Pusat Statistik
(BPS) Pusat per Maret 2009, sekitar 4 juta anak Indonesia usia 5 hingga 17 tahun
merupakan pelaku ekonomi yang aktif dan 1,7 juta anak termasuk dalam kategori
pekerja anak.
Dengan adanya Komisi Aksi Pengahapusan Pekerja Anak di Kabupaten Jayapura
akan dimaksimalkan untuk mendata seberapa anak yang tidak mampu mendapat
pendidikan dengan berbagai alasan dari keluarga, dan bukan hanya pada tingkat
kategori Pekerja Anak.Namun demikian Pemerintah tidak akan bisa menjalankan
tugasnya tanpa ada peran serta masyarakat untuk mewujudkannya karena itu semua
pihak berperan agar pekerja anak dapat hapuskan di Kabupaten Jayapura.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Jayapura, P. Kakihary
menyebutkan , puluhan anak di bawah umur di Jayapura bekerja keras untuk
mencari nafkah.
Mereka banyak dijumpai di emperan toko
dan di ruas jalan raya di kota Jayapura. ”Kami sering temukan mereka di
pinggir jalan raya membawa karung, ada juga yang menjual pinang di pinggir
jalan. Mereka kebanyakan anak-anak,” katanya Kondisi itu terjadi karena
minimnya perhatian dari orang tua dan akibat
masalah ekonomi keluarga. Banyak orang tua yang tidak mampu terpaksa
anaknya harus putus sekolah dan memilih bekerja mencari uang. ”Terkadang mereka tidak masuk sekolah demi mendapatkan
uang. Ini tidak boleh terjadi pada mereka,” tegasnya.
Berdasarkan hasil studi tentang
pekerja anak yang dilakukan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan
Organisasi Buruh Internasional (ILO) di lima wilayah Indonesia, yakni Sulawesi
Selatan , Nusa Tenggara Timur , Maluku, Papua, dan Papua Barat menunjukkan
anak-anak usia 9-15 tahun terlibat berbagai jenis pekerjaan yang berakibat
buruk terhadap kesehatan fisik, mental,maupun seksual. Anak-anak ini juga
kurang mendapat akses pendidikan bahkan terpaksa drop out (DO) dari bangku
sekolah.
“Awalnya, pekerja anak tersebut hanya untuk membantu perekonomian orang
tua, tetapi banyak yang terjebak sebagai
pekerja permanen. Mereka akhirnya menikmati hasil pendapatan dan berakibat anak
lebih sering bolos sekolah dan kemudian DO,’’
Krisis ekonomi berkepanjangan juga disebutnya membuat orang tua
mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan untuk bersekolah.
Akibatnya, lebih banyak anak perempuan tidak bersekolah, buta huruf, atau DO di
pendidikan dasar. Selanjutnya, mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga,
buruh tani dan kebun, buruh serabutan, serta ada yang terlibat prostitusi.
D.
RENCANA
TINDAKAN
Adapun langkah yang akan kami ambil untuk merealisasikan
isi dari portofolio ini yaitu :
·
Mendirikan pendidikan gratis informal, dimana mereka dibekali
ilmu dan dilatih keterampilan.
·
Bimbingan, dimana kita dapat
bersama-sama belajar agama dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
·
Melakukan observasi ke
rumah tinggal mereka, sehingga
kami sebagai penyusun portofolio mengetahui realita kehidupan para pekerja
bawah umur di lapangan.
·
Memberikan dorongan
moral kepada anak tersebut melalui pendekatan personal.
DAFTAR PUSTAKA
Ganeswara,
Ganjar M, dkk.2007. PendidikanKewarganegaraan.
Bandung: UPI PRESS
Sapriya, Dr. dkk. 2009. PembelajaranKewarganegaraan. Bandung:
UPI PRESS
Gustavharefa.2010.Pendidikan Adalah Hak Anak (Refleksi).Emerge Infect Dis [serial online] 2010
Mar; 1 (1); [1 screen].Available from:«Gustavharefa'sBlog.html.accessed
November 2.2010
noname. 2010.pelanggaranhakanak.Emerge
Infect Dis [serial online] 2010 Apr; 1 (1); [1 screen]. Available from:
http://www.ilo.org/public/english/region/asro/jakarta/download/publications/childlabour/200603prtaid.pdf.html.accessed
November 2.2010
noname. 2010. PekerjakanAnak di bawahumur.Emerge
Infect Dis [serial online] 2010 Jan; 1 (1); [1 screen]. Available from:http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0401/14/humaniora/802345.html.accessed
November 2.2010.
noname. 2010. DampakSosialMepekerjakanAnak. Emerge
Infect Dis [serial online] 2010 Feb; 1 (1); [1 screen]. Available
from:http://www.lbh-apik.or.id/fact-62%20PRTA.html.accessed November 2.2010
Kompas.2010.Maraknya mempekerjakanAnak di bawahumur.Emerge Infect Dis [serial online] 2010 Juni; 1 (1); [1 screen].
Available from: http://www2.kompas.com/metro/news/0602/25/092923.html.accessed
November 2. 2010
LAMPIRAN
1.
PROPONEN
Artikel 1
Fenomena Pekerja Anak dan Anak
Jalanan
Last
Updated on Sunday, 01 November 2009 16:56 Written by Administrator Tuesday, 16
June 2009 11:21
A.
Zaenudin Al-Hanif (Pengamat Sosial & Kemasyarakatan, tinggal di Ciputat)
Refleksi
Menyambut Hari Anak Nasional 23 Juli 2009
Penetapan pemerintah tentang Hari Anak Nasional yang diperingati setiap
23 Juli menunjukkan betapa besarnya perhatian dan kepedulian pemerintah
terhadap kesejah¬teraan anak sebagai aset pembangunan dan generasi penerus
bangsa. Selain itu, hari anak juga merupakan salah satu upaya untuk menumbuh
kembangkan kesadaran, motivasi tekad dan semangat segenap lapisan masyarakat,
khususnya para orang tua dan keluarga terhadap pentingnya hak-hak perlindungan,
pertumbuhan dan pendidikan anak-anak.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada 1990
dengan Keppres No.39/1990. Keberhasilan yang sangat siginifikan dalam
perundang-undangan nasional adalah ditetapkannya UU No 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. UU ini telah mengintegrasikan seluruh prinsip-prinsip yang
ada dalam Konvensi Hak Anak. Selain itu, UU lain yang berkaitan dengan hak-hak
anak telah pula ditetapkan, seperti UU Sistem Pendidikan Nasional, UU
Ketenagakerjaan dan UU dalam meratifikasi Konvensi ILO tentang Bentuk Terburuk
Tenaga Kerja Anak.
PENINGKATAN
KUALITAS ANAK INDONESIA
Pada tingkatan operasional, berbagai perencanaan program nasional telah
dicanangkan antara lain penghapusan bentuk-bentuk terburuk pekerja anak,
penghapusan perdagangan perempuan dan anak, penghapusan eksploitasi seksual
komersial pada anak, penanganan terhadap anak jalanan. Namun berbagai peraturan
perundang-undangan yang ada terhadap anak itu belum dapat memberikan jaminan
bagi peningkatan kualitas anak Indonesia. Banyaknya faktor yang menghambat
implementasi peraturan perundang-undangan di lapangan menunjukkan bahwa masalah
pembinaan kualiatas anak merupakan masalah yang kompleks. Faktor yang menghambat pengimplementasian
ketentuan tersebut dapat bersifat internal maupun eksternal. Untuk dapat
mengentaskan anak-anak dari kondisi demikian, yang perlu dilakukan pertama-tama
adalah: kenali masalah yang terdapat di dalam lingkungan terdekat anak, yaitu
keluarga.
Fungsi perlindungan atau proteksi kepada anak merupakan salah satu fungsi
yang penting karena dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa aman dan kehangatan
dalam keluarga. Bila fungsi ini dapat dikembangkan dengan baik, keluarga akan
menjadi tempat perlindungan yang aman secara lahiriah dan batin bagi seluruh
anggotanya. Namun, selain fungsi perlindungan keluarga juga memiliki fungsi
ekonomi. Fungsi itu menjadi pendukung kemampuan kemandirian keluarga dan
anggotanya dalam batas-batas ekonomi masyarakat, bangsa, dan negara dimana
keluarga itu hidup. Apabila dikembangkan dengan baik fungsi ini dapat
memberikan kepada setiap keluarga kemampuan untuk mandiri dalam bidang
ekonominya, sehingga mereka dapat memilih bentuk dan arahan sesuai
kesanggupannya.
Dengan berkembangnya waktu, fenomena pekerja anak banyak berkaitan erat
dengan dengan alasan ekonomi keluarga (kemiskinan) dan kesempatan memperoleh
pendidikan. Pendapatan orangtua yang sedikit tidak dapat mencukupi kebutuhan
hidup keluarga sehingga memaksa mereka untuk bekerja. Di lain pihak, biaya
pendidikan di Indonesia yang masih tinggi telah pula ikut memperkecil
kesempatan untuk mengikuti pendidikan.
FENOMENA
PEKERJA ANAK DAN ANAK JALANAN
Perbenturan kepentingan antara kedua fungsi inilah yang kadang
menimbulkan dilema bagi keluarga yang kehidupan ekonominya kurang
membahagiakan. Di satu sisi, keluarga harus mampu memberikan perlindungan
kepada anggotanya, termasuk anak-anak. Namun di sisi lain, adanya fungsi
ekonomi juga telah menuntut para anggotanya untuk ikut memberikan sumbangan
agar kebutuhan hidup keluarga dapat terpenuhi, yaitu dengan bekerja. Karena itu
tidak heran jika kemudian muncul fenomena pekerja anak.
Fenomena pekerja anak di Indonesia pada awalnya banyak berkaitan dengan
tradisi atau budaya membantu orangtua, yang banyak dianut oleh masyarakat
Indonesia pada umunya. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengapa anak
dilatih untuk bekerja. Pertama, sebagian orangtua masih beranggapan bahwa
memberi pekerjaan kepada anak-anak merupakan upaya proses pembelajaran agar
anak mengerti arti tanggung jawab. Kedua, tindakan itu juga dapat melatih dan
memperkenalkan anak kepada dunia kerja. Ketiga, untuk membantu meringankan
beban kerja keluarganya.
Bahkan lebih parah lagi, saat ini fenomena pekerja anak masih ditambah
dengan munculnya fenomena anak jalanan di kota-kota besar, yang makin menambah
kompleksnya permasalahan. Jika kita menyusuri jalan-jalan di sekitar Jakarta,
dengan mudah kita akan mendapatkan anak-anak usia sekolah yang mengamen atau
sekedar meminta-minta di lampu merah. Tidak jarang pula kita menemukan mereka
di dalam bis-bis kota. Mereka kemudian dikenal dengan sebutan ‘anak jalanan’.
Entah sebutan itu cocok atau tidak untuk mereka. Sebagaimana anak-anak lain,
anak jalanan juga menginginkan hidup normal. Mereka anak kita juga yang
membutuhkan tempat untuk tinggal, rasa aman, nyaman, dan ingin diterima oleh
masyarakat.
Fenomena anak jalanan merupakan ekses lingkaran setan kemiskinan bangsa
Indonesia. Kendala yang dihadapi mobilitas anak-anak itu cukup tinggi.
Anak-anak yang dibimbing di rumah singgah, setelah keluar, "kadang"
kembali menjadi anak-anak jalanan. Sebab, kebutuhan ekonomi tidak terelakkan.
Sayangnya, perhatian kepada anak-anak terkesan digelar pada momen-momen tertentu
saja.
Mereka yang hidup di jalanan sebagai, pengamen, pedagang asongan,
pengemis, dan pelacur. Paru-paru mereka tidak hanya menghirup kerasnya udara
yang mengandung timbal dan karbon monoksida tapi juga menghisap asap kekerasan
purba langsung dari akarnya. Secara, struktural negara bisa disalahkan sebagai
penyebab buruknya kondisi anak-anak di negeri ini. Karena negara sebagai
pemegang kekuasaan membuat kebijakan yang sering tak berpihak pada masyarakat
bawah. Kebijakan itu menyebabkan orang miskin yang makin terbelenggu dan tidak
berdaya. Kemiskinan menjadi satu faktor pemicu terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) pada anak. Anak dalam keluarga miskin mengalami subordinasi
ganda, yaitu ada supremasi dari yang kaya dan orang dewasa. Hak anak bisa dilanggar
karena dia anak-anak dan miskin.
Menyalahkan negara sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab tak
secara otomatis membawa kehidupan anak menjadi lebih baik. Kita semua, tanpa
disadari, telah menjadi orang dewasa, para ”orang tua” yang merangkap sebagai
eksekutor bagi anak-anak kita sendiri. Algojo yang menghukum anak secara tidak
proporsional. Hukuman yang menghabiskan seluruh energi kehidupan dan masa depan
anak-anak dalam bayang-bayang trauma jalanan, dan debu peperangan. Kita menjadi
orang tua yang mengambil terlampau banyak dari kehidupan anak kita.
Dalam kondisi seperti inilah peringatan hari anak nasional kemudian
menjadi sangat penting. Indonesia sebagai salah satu Negara yang telah
meratifikasi Konvensi Hak Anak, maka Negara berkewajiban untuk mengakui dan
memenuhi hak dan kebutuhan anak Indonesia, ketika orang tua tidak sanggup lagi
melakukannya. Atau ketika anak-anak berada dalam kondisi yang sangat rentan
bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Melalui Hari Anak Nasional, kita diingatkan
pada kewajiban Negara untuk melakukan tugasnya. Lebih mendasar lagi, Negara
diingatkan kembali untuk terus menerus melihat kondisi anak Indonesia yang
semakin terpuruk. Tidak hanya itu, melalui peringatan hari anak nasional ini
masyarakat diajak untuk ikut mengambil peran dalam meminimalkan kondisi-kondisi
yang dapat memperburuk kehidupan anak-anak Indonesia. Seluruh masyarakat,
termasuk kita!!! (www.mujahidin.net)
Artikel 2
EKONOMI JADI FAKTOR EKSPLOITASI ANAK
11:25, 30/10/2010
NGAMEN: Dua anak sedang ngamen
di persimpangan Jalan AR Hakim Pajak Aksara Medan beberapa waktu
lalu.//File/Sumut Pos
MEDAN- Rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan seseorang menjadi faktor
utama tingginya eksploitasi anak. Belum lagi implentasikanya UU nomor 23 tahun
2002 yang tidak diterapkan dengan maksimal. Koordonator Divisi Litigasi Yayasan
Pusaka Indonesia Elisabeth mengatakan, faktor eknomi menjadi penyebab utama
banyak terjadi tindak kekerasan terhadap anak di bawah umur.
“Masyarakat kita memang rentan
terhadap eksploitasi anak, hal ini banyak disebabkan karena rendahnya tingkat
ekonomi masyarakat,” katanya kemarin di kantor Yayasan Pusaka Indonesia Jalan
Setia Budi Medan. Elisabeth menuturkan bentuk-bentuk eksploitasi anak juga
bermacam-macam semisal penjualan anak, pekerja anak, pelacuran anak di bawah
umur dan lain sebagainya yang melanggar hak-hak anak.
Menurut Elisabeth UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak tidak
terimplementasi dengan maksimal khususnya yang terjadi pada pekerja anak karena
faktor ekonomi keluarga menyebabkan si anak harus bekerja dengan alasan
membantu ekonomi orangtua. “Di perusahaan perkebunan banyak terdapat pekerja
anak di bawah umur, terlebih mereka yang orangtuanya berstatus buruh harian lepas
(BHL), namun ini sulit ditindak karena keluarga melumrahkan hal tersebut,”
tambahnya. Namun tidak ada angka yang pasti tentang peningkatan eksploitasi
anak tersebut, namun dari informasi yang ada terjadi peningkatan dari
tahun-tahun sebelumnya. “Untuk tahun ini saja ada 30 kasus yang
terinvestigasi khusus kasus pelecehan
seksual terhadap anak di bawah umur. Mungkin banyak lagi yang tidak terekspos,”
kata Elisabeth.
Hal senada juga ditegaskan Edy Sunarwan, Project Officer ILO IPEC wilayah
Sumut. Dia menambahkan tingkat pendidikan dan terkikisnya kepedulian sosial
menyebabkan tingginya tingkat kekerasan terhadap anak. “Saya tidak bilang kalau
pendidikan itu mahal, namun kenyataannya masih banyak pengutipan, ini akan
memberatkan ekonomi juga, ditambah lagi dengan rendahnya kepedulian sosial
terhadap sesama, ini juga ikut memicunya,” katanya.
Edy menambahkan, suasana sekolah juga menjadi penentu anak-anak suka
sekolah atau tidak. Sebab banyak sekolah yang menurut anak-anak tidak menarik
dan memunculkan kebosanan.
Artikel 3
PEKERJA ANAK BANTU EKONOMI KELUARGA
Era Baru News
Sabtu, 24 Juli 2010
Lebak - Banyak anak-anak di bawah umur di Kabupaten Lebak, Banten,
bekerja di jalanan untuk membantu ekonomi keluarga, dimana pemicunya adalah
kemiskinan orang tua. Sebagian bahkan merasa terpaksa karena dieksploitas orang
tua, bekerja untuk membantu ekonomi keluarga, padahal mereka usia sekolah
dasar. "Setiap hari terlihat anak-anak turun ke jalanan untuk mencari
nafkah seperti di pasar, stasiun kereta api (KA), terminal bus dan sejumlah
tempat lainnya," kata pemerhati sosial, Musa Weliansyah, di Rangkasbitung,
Jumat (24/07).
Mereka bekerja sebagai pengamen, tukang semir, pembantu rumah tangga,
pedagang, tukang sapu dalam gerbong kereta api, pemulung, pengemis, dan pencuci
kendaraan. Selain itu, juga banyak anak-anak di pedalaman Kabupaten Lebak
menjadi pengembala ternak kerbau atau di ladang. "Kami merasa prihatin
dengan banyak anak-anak bekerja untuk mencari nafkah keluarga itu,"
katanya. Dia juga mengatakan, pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran
melalui APBD untuk membiayai kegiatan penanganan anak jalanan. Selama ini, kata
dia, anggaran untuk penanganan anak jalanan tidak ada.
Dia menjelaskan, anak jalanan merupakan masalah sosial yang harus segera
ditangani karena akan menimbulkan masalah sosial lainnya di tengah masyarakat,
misalnya keterlibatan mereka dalam tindak kriminal. Jika mereka tidak ditangani
secara komprehensif pasti akan menimbulkan masalah sosial di lingkungan
masyarakat, katanya. Dia menyebutkan, Organisasi Buruh Internasional (ILO)
mencatat bahwa pada tahun 2004 lalu di Indonesia terdapat 1,4 juta anak berusia
10-14 tahun yang menjadi pekerja untuk membantu ekonomi keluarga.
Sebagian besar dari mereka tidak mendapat peluang untuk bersekolah
sehingga masa depan mereka pun kian suram. "Kami berharap pemerintah
daerah segera turun tangan untuk menangani anak-anak agar mereka tidak bekerja
di jalanan," katanya. Armin (11) seorang pemulung warga Rangkasbitung
Timur Kabupaten Lebak, mengaku dirinya terpaksa berhenti sekolah dasar kelas 3
karena orangtua tak mampu membiayai pendidikan. Apalagi, orangtuanya sudah lama
menganggur dan sering sakit-sakitan. "Selama ini keluarga bisa makan dari
hasil memulung plastik dan barang-barang rongsokan itu," katanya.
Armin mengaku dirinya dan kakaknya Yanto (14) yang sama-sama pemulung
setiap hari mendapatkan uang antara Rp15-20 ribu dan sisanya diberikan kepada
orangtua untuk beli beras dan lauk pauk. "Kami setiap hari dengan kakak
harus bekerja jika tidak bekerja tentu dimarahi orangtua," katanya. Sementara
itu, Hendra (13) seorang pengembala kerbau di Kecamatan Leuwidamar Kabupaaten
Lebak mengaku dirinya kini sudah tidak sekolah lagi karena orangtua melarang
bersekolah. "Kami berhenti sekolah saat duduk di bangku madrasah
ibtidaiyah atau setara sekolah dasar," katanya.(ant/waa)
Artikel 4
PEKERJA ANAK DI CIANJUR MENINGKAT
20 May 2010
Cianjur, Pelita
Dalam dua tahun terakhir angka pekerja anak di wilayah Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat (Jabar), meningkat drastis. Berdasarkan survey yang pernah dilakukan
International Labour Organization (ILO) Persatuan Bangsa-Bangsa (ILO) melalui
Yayasan GPNA Cianjur di dua kecamatan masing-masing Kecamatan Cipanas dan Sukaluyu
mencapai sebanyak 500 orang.
Direktur GPNA-ILO Cianjur Asep Mirda Yusuf, mengemukakan kepada PeUta,
Rabu (19/5), berkeyakinan pekerja anak yang belum terdeteksi masih banyak lagi,
bahkan bisa mencapai ribuan orang. Padahal mempekerjakan anak bertentangan
dengan aturan, salah satunya hukum dan konvensi PBB yang telah diratifikasi,
seperti konvensi No. 138 tahun 1973, mengenai usia minimum dan konvensi No.
182, tentang Larangan dan Tindakan Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak.
Pemerintah sendiri sudah punya enam perangkat hukum terkait hal itu,
salahsatunya undang-undang perlindungan anak. Arti dari pekerja anak itu
sendiri, anak yang berusia 1 s/d 14 tahun yang sudah bekerja di berbagai
sektor, baik sektor formal maupun non formal.Namun kebanyakan dari mereka
bekerja di sektor non formal, seperti pengamen jalanan, kuli angkut barang di
pasar, buruh pabrik, pedagang asongan, juga di sektor jasa, seperti kuli
bangunan, pembantu rumah tangga, dan buruh migran.
Dikemuakan Asep, praktik pekerja anak di wilayah Kabupaten Cianjur
tersebar di berbagai tempat, baik wilayah perkotaan maupun pelosok, kendati
keduanya terdapat perbedaan pola. "Kalau di wilayah perkotaan, anak-anak
yang bekerja itu tidak jauh dari lingkungan tempat tinggalnya, namun kalau di
pelosok, kebanyakan menjadi buruh migran, seperti menjadi pembantu rumah tangga
di ibukota bahkan jadi TKW." paparnya.
Asep menilai, menggejalanya fenomena pekerja anak di wilayah Kabupaten
Cianjur, selain faktor kemiskinan, juga disebabkan minimnya sosialisasi
perangkat hukum yang mengatur hal tersebut oleh pemerintah setempat. Akibatnya,
konsep-konsep tentang pekerja anak belum sampai ke telinga masyarakat, sehingga
banyak dari mereka yang tidak memahaminya."Sampai hari ini saya belum
pernah mendengar apalagi melihat ada sosialisasi khusus tentang penghapusan
pekerja anak ke masyarakat maupun ke sekolah-sekolah. Padahal pemerintah
memiliki kewajiban mengikat atas hal itu (sosialisasi-id)," tutur Asep.
Jika hal tersebut dibiarkan akan berdampak buruk bagi generasi penerus di
Cianjur. Secara psikologis, dunia anak adalah dunia bermain, jadi jangan
dibebani oleh kewajiban untuk mencari nafkah yang seharusnya menjadi
tanggungjawab mutlak orang tua."Fenomena pekerja anak ini, apabila
dibiarkan akan bergeser pada eksploitasi seksual terhadap anak, dan hal itu
sudah terjadi," ujar Asep seraya mengakui, pihaknya menemukan kasus
seorang siswi lulusan SMP di Kecamatan Sukaluyu yang sudah di-persiapkan
orangtuanya untuk menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) ke luar negeri.
Selain itu, banyaknya anak sekolah yang menjadi pekerja anak di wilayah
Kabupaten Cianjur disayangkan Kepala Dinas P dan K setempat, DR Sae-iul Millah,
karena kondisi tersebut akan menggangu Program Wajar Dikdas (Wajib Belajar
Pendidikan Dasar) 9 tahun."Anak-anak yang masih potensial tersebut
seharusnya mengisi waktu dengan belajar, bermain dan bergembira, serta
memperoleh pendidikan yang memadai, baik pendidikan formal maupun
informal," ujar Saeful, Selasa (18/5).
Saeful mengharapkan seluruh anak sekolah di Kabupaten Cianjur, tidak
menjadi pekerja anak, dan mengimbau masyarakat khususnya para orang tua yang
mempekerjakan anak-anaknya agar segera menghentikan aktivitasnya.Ketika ditanya
terkait kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap perangkat hukum atas pekerja
anak tersebut. Saeful enggan berkomentar. "Intinya, fenomena pekerja anak
ini semata karena faktor kemiskinan, sehingga mendorong sebagian orang tua
untuk menyuruh anak-anaknya bekerja," ujarnya, (ck-54/man)
2.
OPONEN
Artikel 1
PRT ABG Disiksa Majikan Sabtu, 25 Februari 2006
Bogor, Warta Kota
PRT ABG Disiksa Majikan Sabtu, 25 Februari 2006
Bogor, Warta Kota
Seorang pembantu
rumah tangga (PRT), Ratna Maryati (13), melarikan diri dari rumah majikannya di
Kampung Ciheuleut RT 06/08, Baranangsiang, Bogor Timur, setelah disiksa di
kamar mandi. Anak baru gede (ABG) itu kemudian
diselamatkan para tetangga, sedangkan majikannya, Rosyati alias Iyet ditangkap
polisi, Jumat (24/2). Penyiksaan yang
dilakukan Iyet terhadap Ratna, kemarin, adalah untuk kesekian kalinya.Selama 7
bulan bekerja, sudah tak terhitung lagi siksaan yang diterima Ratna.Perempuan
bertubuh mungil itu pernah dipukuli dengan wajan, dihajar dengan gayung, hingga
disundut rokok.
Penyiksaan terakhir
terjadi kemarin.Ketika itu, ada seseorang yang ingin membeli es batu, lalu dia
mengambilkannya di lemari es.Karena kesulitan mengambil, Ratna berupaya dengan
mencongkelnya menggunakan obeng.Ternyata upaya itu mengakibatkan goresan di
bagian pendingin lemari es. Mengetahui hal itu,
Iyet murka. Saat itu juga sang majikan menyeret Ratna ke kamar mandi. Di sana
ia menghantam kepala Ratna dengan gayung berkali-kali. Belum puas melampiaskan
emosinya, Iyet lalu menyiram tubuh gadis ABG tersebut dengan air bak mandi.Tak
hanya itu.Ratna juga didorong hingga jatuh terlungkup di kloset duduk.Tanpa
ampun, kepala Ratna dibenamkan ke lubang kloset sambil dipukuli tubuhnya.
Setelah puas, Iyet meninggalkan
Ratna di kamar mandi.Ia membiarkan pembantunya menangis meraung-meraung sambil
menahan sakit. Saat sang majikan naik ke lantai dua rumahnya, Ratna pun kabur
dan melaporkannya ke warga Kampung Ciheuleut. Warga yang mendengar cerita Ratna menjadi gusar dan berencana untuk
mengepung serta merusak rumah Iyet yang juga membuka usaha fotokopi.Tetapi niat
itu dibatalkan.Warga lalu menyembunyikan Ratna di sebuah warung sambil membuat
strategi untuk menangkap Iyet. Seorang tetangga Iyet yaitu Suciwati melaporkan
peristiwa tragis itu ke Mapolsekta Bogor Timur, Jalan Pajajaran.Tidak lama
kemudian polisi datang ke lokasi dan menangkap Iyet.Bersama Ratna, ia dibawa ke
Mapolresta Bogor, Jalan Kedunghalang, Bogor Utara.
Artikel 2
Menakertrans: Pekerja Anak di Bawah Umur Makin Meningkat
Hukuman
Berat berupa sanksi 4 tahun penjara akan diberikan kepada perusahan yang
mempekerjakan anak-anak di bawah usia 18 tahun. Hal tersebut dikatakan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Erman Suparno, usai membuka Seminar Regional Penghapusan Pekerja
Anak, di Hotel Arya Duta, Jakarta, Rabu (12/7).
"Penegakan hukum sudah jelas diatur, hukuman 4 tahun
akan diberikan jika pelanggarannya berat," jelasnya.
Menurutnya, saat ini sejumlah 4 juta anak Indonesia
bekerja pada sektor pertanian didesa-desa, jumlah itu lebih banyak dibanding
Data Badan Pusat Statistik akhir 2004 lalu di mana total anak usia 10-17 tahun
yang bekerja di sembilan sektor berjumlah lebih dari 2,8 juta orang.
Lebih lanjut Erman menegaskan, gerakan nasional
penanggulangan pekerja anak pada bentuk-bentuk terburuk, belum secara optimal
dilakukan oleh pemerintah daerah, mengingat masih banyaknya perusahaan industri
didaerah yang masih menggunakan tenaga kerja anak di bawah umur. Oleh karena
itu pemerintah pusat akan langsung melakukan sosialisasi ke tingkat desa,
kecamatan dan kabupaten.
"Harus ada kontribusi dari pemerintah daerah, karena
justru pekerja anak masih banyak didesa-desa, ini akan menjadi fokus
Depnakertrans," tegasnya.
Mengenai anak-anak jalanan yang di bawah umur, ia
menambahkan, pihaknya akan melakukan kordinasi lintas departemen dengan
Departemen Sosial dan Departemen Pendidikan Nasional, untuk menekan pertambahan
jumlah anak jalanan. (novel)
Sumber : http://www.eramuslim.com/berita/nasional/menakertrans-pekerja-anak-di-bawah-umur-makin-meningkat.htm
Artikel 3
Di NTT Ada
1.335 Anak Di Bawah Umur Pekerja Seks Anak
Sebanyak seribu 335 anak di bawah umur di provinsi nusa
tenggara timur dikategorikan sebagai pekerja seks anak dengan rincian/ anak
laki-laki 15 ribu 333 anak dan perempuan sebanyak 7 ribu 770 anak.
Ketua lembaga perlindungan anak (lpa) ntt mien paty noach
kepada wartawan, sabtu (05/06) di kupang mengatakan/ data tersebut didapat dari
hasil survey beberapa waktu lalu.
Menurut mien, pemerintah telah bekerjasama dengan sebuah
lembaga internasional yaitu international labour organization (ilo) untuk
membuat program penghapusan kerja-kerja terburuk untuk anak, termasuk
perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak anak, diantaranya hak
untuk memperoleh pendidikan dan bermain. Mien mengungkapkan, berdasarkan data
yang dihimpun hingga mei 2010, jumlah anak terlantar di ntt sebanyak 13 ribu
369 anak. Gelandangan 195 ribu anak dan sebagai pekerja seks sebanyak seribu
335 anak. Hal ini ketika komisi viii dpr ri melakukan kunjungan kerja ke ntt
desember 2009 lalu terungkap kalau di ntt terdapat seribu 300 kasus perdagangan
manusia (human trafficking) dan 14 ribu 448 kasus tki ilegal dari jumlah
tersebut, hanya 81 kasus yang diproses hukum. Mien menjelaskan, hal ini dilihat
dari aspek pendidikan maka sebanyak 18 koma 91 persen anak tak pernah sekolah,
40,45% belum tamat sekolah dasar (sd), 39,29% tidak tamat smp dan 1,35% tamat
smp. Semakin tinggi jenjang pendidikan/ persentase anak mengenyam pendidikan
semakin menurun. Sehingga tugas yang harus dilakukan adalah menahan dan
menyadarkan anak-anak agar tetap sekolah.
Sementara itu fausan hazan dari ilo kupang menyampaikan
ada tiga komponen penting yang mempengaruhi keberadaan seorang pekerja anak
yaitu pemerintah/ pengusaha dan pekerja. Untuk ntt, ilo memfokuskan program
pada pengurangan angka kemiskinan serta Menjembatani dunia pendidikan dan dunia
kerja. Hazan mengungkapkan, data bps tahun 2009 menunjukkan sekitar 80%
penduduk ntt hanya lulus sd dan smp. Itu menunjukkan bahwa angka partisipasi
sekolah di ntt masih sangat rendah. Harus diingat, ada hubungan cukup erat
antara kemiskinan dan tingkat pendidikan.
Mengingat pekerja anak di ntt sangat banyak, sedang
diupayakan agar pekerja anak dapat mengenyam pendidikan yang memadai. Ketua tim
advokasi eliminasi pekerja anak teda littik menjelaskan/ anak yang melakukan
segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat
mengganggu pendidikan/ membahayakan keselamatan/ kesehatan serta tumbuh
kembangnya dapat digolongkan sebagai pekerja anak. Menurut littik, dalam upaya
pemenuhan hak pendidikan untuk para pekerja anak/ dibutuhkan kerja sama antara
sektor sosial dan ekonomi. Perusahaan atau institusi apapun yang mempekerjakan
anak-anak, seharusnya menjamin hak ekonomi, pendidikan dan sosial sekaligus.
Littik menambahkan, pemerintah seharusnya juga menjamin ketiganya/ agar anak
tidak terjebak dalam suatu pekerjaan selain pekerjaan di rumahnya, yang
seringkali mengeksploitasi mereka.
Demikian riflan hayon reporter sahabat fm melaporkan.
Artikel 4
Sebanyak 6,5 Juta Anak Pekerja Dibawah Umur Bekerja
Karena Kemiskinan
TEMPO Interaktif, Jakarta:Ketua Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA), Seto Mulyadi menyatakan jumlah pekerja anak
terus bertambah tiap tahun. Pada 2008, diperkirakan jumlahnya telah mencapai
6,5 juta orang anak. Kebanyakan pekerja tersebut, kata Seto, lahir dari kondisi
ekonomi keluarga yang miskin. “Jumlahnya naik 30-80 persen setiap tahun,
bertambah seiring jumlah anak putus sekolah dan kekerasan terhadap anak yang
terus meningkat,” katanya usai beraudiensi memperingati Hari Dunia Melawan
Eksploitasi Anak dengan Komisi Kesehatan dan Tenaga Kerja DPR RI, di Ruang
Rapat Badan Legislatif DPR, Kamis (12/6).
Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat 11 juta anak
usia 7-8 tahun tidak terdaftar sekolah di 33 provinsi di Indonesia. Pada 2004
2,1 juta anak putus sekolah, kebanyakan dari mereka berada pada jenjang sekolah
menengah pertama. Umur pekerja anak bervariasi mulai 7-17 tahun. “Salah satu
dampak kemiskinan adalah diabaikannya hak-hak anak, yang dengan segera
memunculkan pekerja anak,” kata Sekretaris Jenderal Komisi Nasional, Arist
Merdeka Sirait. Ia minta pemerintah mencari jalan mengurangi jumlah pekerja
anak, salah satunya dengan memunculkan lapangan kerja baru untuk orangtua/warga
miskin.
Artikel 5
Pelanggaran Hak Asasi Anak di Indonesia
Hak asasi merupakan hak mendasar yang dimiliki setiap
manusia semenjak dia lahir. Hak pertama yang kita miliki adalah hak untuk hidup
seperti di dalam Undang Undang No. 39 tahun 1999 pasal 9 ayat (1) tentang hak
asasi manusia, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan
meningkatkan taraf hidupnya”, ayat (2) “Setiap orang berhak hidup tenteram,
aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan bathin”, dan ayat (3) “Setiap orang
berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
Seiring berjalannya waktu, hak asasi manusia (HAM) mulai
dilindungi oleh setiap negara. Salah satunya adalah Indonesia, hak asasi
manusia (HAM) secara tegas di atur dalam Undang Undang No. 39 tahun 1999 pasal
2 tentang asas-asas dasar yang menyatakan “Negara Republik Indonesia mengakui
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak
yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.”
Meskipun di Indonesia telah di atur Undang Undang tentang
HAM, masih banyak pula pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
Pelanggaran HAM yang baru-baru ini sedang marak adalah pelanggaran hak asasi
perlindungan anak. Padahal di dalamnya sudah terdapat Undang Undang yang
mengatur di dalamnya, antara lain Undang Undang No. 4 tahun 1979 diatur tentang
kesejahteraan anak, Undang Undang No. 23 tahun 2002 diatur tentang perlindungan
anak, Undang Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, Keputusan
Presiden No. 36 tahun 1990 diatur tentang ratifikasi konversi hak anak.
Persoalan mungkin dapat menjadi rumit ketika seorang anak
mengalami diskriminasi berlapis, yaitu seorang anak perempuan. Pertama, karena
dia seorang anak dan yang kedua adalah karena dia seorang perempuan. Di kasus
inilah keberadaan anak perempuan diabaikan sebagai perempuan. Ada banyak kasus
tentang pelanggaran hak atas anak. Misalnya pernikahan dini, minimnya
pendidikan, perdagangan anak, penganiayaan anak dan mempekerjakan anak di bawah
umur. Pernikahan dini banyak terjadi di pedesaan, 46,5% perempuan menikah
sebelum mencapai 18 tahun dan 21,5% menikah sebelum mencapai 16 tahun. Survey
terhadap pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Doli, di Surabaya ditemukan
bahwa 25% dari mereka pertama kali bekerja berumur kurang dari 18 tahun (Ruth
Rosenberg, 2003).
Contoh kasus paling nyata dan paling segar adalah
pernikahan yang dilakukan oleh Kyai Pujiono Cahyo Widianto atau dikenal dengan
Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa (12 tahun). Di dalam pernikahan itu seharusnya
melanggar Undang Undang perkawinan dan Undang Undang perlindungan anak.Kasus
ini juga ikut membuat Seto Mulyadi, Ketua KOMNAS Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) terjun langsung. Menurutnya perkawinan antara Syekh Puji dengan Lutfiana
Ulfa melanggar tiga Undang Undang sekaligus. Pelanggaran pertama yang dilakukan
Syekh Puji adalah terhadap Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Di dalam Undang Undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dengan anak-anak
dilarang. Pelanggaran kedua, dilakukan terhadap Undang Undang No. 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak yang melarang persetubuhan dengan anak.
Dan yang terakhir, pelanggaran yang dilakukan terkait
dengan Undang Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Setelah
menikah, anak itu dipekerjakan dan itu seharusnya dilarang. Selain itu,
seharusnya di umur Lutfiana Ulfa yang sekarang adalah masa untuk tumbuh dan
berkembang, bersosialisasi, belajar, menikmati masa anak-anak dan bermain.(dari
berbagai sumber/sir) (Redaksi/malangpost)
Artikel 6.
Polisi Tahan Pengusaha yang Mempekerjakan Anak Bawah Umur
TEMPO Interaktif, Jakarta:Markas Besar Kepolisian RI
menahan pengusaha Anthoni, yang mempekerjakan anak di bawah umur. Pengusaha
sarang burung walet ditahan di Markas Besar Kepolisian sejak kemarin (3/1)sore.
"Dia mempekerjakan 19 orang, 17 orang di bawah umur.
Bahkan ada yang baru berusia 13 tahun," kata Kepala Unit Pelayanan
Perempuan dan Anak Kepolisian Komisaris Besar Agung Sabar Santoso di Markas
Besar Kepolisian RI, Jumat (4/1).
Anthoni diduga merekrut anak di bawah umur melalui Yayasan Tiga Putra
Jaya, Putri Sehati, Mekar Jaya, dan Makmur Jaya. Anak-anak tersebut
dipekerjakan selama 10-14 jam per hari dengan upah Rp 350 ribu per bulan. Upah
dibayarkan per tahun. Namun kenyataannya anak-anak tidak dibayar. Anthoni
dijerat pasal 2 junto pasal 17 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 dan pasal 88
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. "Ancamannya
10 tahun penjara," kata Agung. Agung menjelaskan kasus ini ditangani
Markas Besar Kepolisian RI setelah menerima laporan dari Komisi Nasional
Perlindungan Anak sekitar pekan lalu. Dari situ polisi langsung mengejar
Anthoni yang kemudian ditangkap Rabu lalu di rumahnya di bilangan Cengkareng,
Jakarta Barat.
Sepanjang November-Desember lalu Markas Besar Kepolisian
juga mengungkap beberapa kasus penjualan perempuan ke luar negeri. Di antaranya
pengiriman enam orang perempuan ke Jepang yang diungkap pada November lalu.
Modusnya para perempuan itu akan dipekerjakan sebagai pegawai restoran.
Kenyataannya mereka dipaksa menjadi pekerja di tempat prostitusi. Polisi
menetapkan Jimmy Wijaya, warga Indonesia, sebagai tersangka. Polisi juga
mengungkap pengiriman tenaga kerja ke Kurdistan. Padahal negara itu merupakan
negara konflik, bukan negara penempatan tenaga kerja. Andi Gunawan ditetapkan
sebagai tersangka pengiriman ilegal tersebut.
Untuk pengiriman tenaga kerja ke Korea Selatan, polisi
menetapkan Muhamaad Imron dan Ade Rully sebagai tersangka. Mereka
mengatasnamakan PT Mitra Munara Kencana Lestari yang belakangan diketahui tidak
memperoleh izin Perusahaan Jasa TKI. "Januari ini kami juga akan
mengungkap pengiriman tenaga kerja ilegal lainnya," katanya
Artikel 7
Ratusan PRT di Bandung Masih di
Bawah Umur
BANDUNG - Kekerasan terhadap anak juga
tidak hanya berwujud dalam bentuk fisik. Di Kota Bandung, kekerasan tersebut
bisa berupa mempekerjakan anak di bawah umur. Kasus terbaru yang ditemukan
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar, sebanyak 349 pembantu rumah tangga (PRT)
di Kecamatan Sukasari Kota Bandung, ternyata masih di bawah umur. "Ini hanya satu
kecamatan saja. Di Kecamatan Sukasari, kami menemukan 349 PRT anak. Mereka
rata-rata berusia di bawah 18 tahun. Paling kecil berusia 11 tahun," kata
Manajer Program Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar Dianawati, saat ditemui
wartawan di Sekretariat LPA Jabar Jalan Karangtinggal, Jumat (23/7/2010).
Khusus untuk anak yang berusia di bawah 15 tahun,
LPA meminta majikan mengembalikan mereka. Seorang PRTA yang sudah berhasil
dikembalikan ke orangtuanya adalah anak perempuan yang baru berusia 11 tahun
dan tinggal di Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat. "Setelah kita
berbicara dengan majikannya, anak usia 11 tahun itu akhirnya dikembalikan lagi
ke rumah orangtuanya. Kita sekolahkan dia di Sekolah Dasar dengan biaya dari
kita. Minimal, dia bisa sekolah sampai kelas 6 SD," kata Diana. Dia
mengatakan, pemilik rumah yang mempekerjakan anak di bawah umur tersebut
rata-rata dari kalangan high class. Tidak hanya satu anak, kata dia, ada pula
satu keluarga yang mempekerjakan dua hingga tiga anak di bawah umur. "Yang
sulit adalah saat kita berbicara dengan majikannya. Namun, beberapa di antara
mereka sudah mulai mengerti mengenai larangan mempekerjakan anak di bawah umur.
Kalau yang usianya di atas 15 tahun, kita usahakan mereka mendapatkan keterampilan
serta jam kerja yang layak. Selain
itu, mereka juga harus mendapatkan jatah libur," kata Diana. Lebih jauh
Diana mengatakan, mereka rata-rata mendapatkan gaji cukup tinggi setiap bulan
mulai dari Rp350 ribu sampai Rp800 ribu. Namun, kata dia, berbeda dengan di
wilayah Kabupaten Bandung, gaji PRTA relatif lebih kecil. "Yang saya
temukan di Sayati Kabupaten Bandung, gaji pembantu rumah tangga anak antara
Rp150 ribu sampai Rp250 ribu," pungkasnya.(ram)
Sumber
: http://news.okezone.com/read/2010/07/23/340/356003/ratusan-prt-di-bandung-masih-di-bawah-umur
Artikel 8
Pekerja
Anak, Dominasi Ekonomi Keluarga
indosiar.com,
Jakarta - "Selama menjadi pembantu rumah tangga, saya tidak punya hak
dengan hidup saya sendiri. Gak ada yang menghargai. Ini pekerjaan yang paling
hina," ujar Suwarsih, wanita asal Tegal yang mulai bekerja saat dirinya
duduk dibangku SMP. Warsih kini tinggal di penampungan tenaga kerja di Cibubur,
Jakarta Timur. "Kalau
saya berbuat salah, majikan gak ngasih makan untuk dua hari. Saya sering
diperlakukan seperti itu. Karena saya kelaparan, saya mencuri makanan dari
rumah majikan. Karena itu, majikan saya memukul saya habis-habisan," ungkap
Lindawati mengenai nasib jeleknya saat bekerja di Malaysia.
Wanita
asal Cirebon kelahiran 16 tahun silam ini, dipulangkan kembali ke Indonesia,
setelah diberangkatkan ke Malaysia 2,5 tahun lalu. Pihak PJTKI yang
memberangkatkannya, terpaksa memalsukan usia yang tertera dalam KTP aslinya
untuk persyaratan kerja.Buruh anak, demikian yang lazim sebutan mereka. Tidak
ada yang sempat menikmati keindahan masa kanak-kanak, mendapat kesempatan
bermain atau pendidikan dan kehidupan yang wajar. Mereka harus bekerja karena
menjadi tempat bergantung keluarga. Namun lagi-lagi mereka harus merasakan
kekerasan dalam kehidupan masa kanak-kanaknya. Pekerja anak kerap diperlakukan
secara tidak sesuai norma yang ada. Mereka kerap dijadikan obyek perbudakan,
Ekploitasi dan kekerasan.
Para
pekerja anak menghadapi berbagai macam perlakuan kejam dan eksploitasi,
termasuk perlakuan kejam secara fisik dan seksual, pengurungan paksa, upah
tidak dibayar, tidak diberi makan dan fasilitas kesehatan, serta jam kerja yang
sangat panjang tanpa hari libur. Kebanyakan,
pemerintah tidak memasukkan para pekerja anak ini ke dalam standar perlindungan
buruh, dan gagal memonitor praktek-praktek perekrutan yang menimbulkan beban
hutang yang sangat berat serta idak memberikan informasi akurat mengenai jenis
pekerjaan kepada para pekerja anak ini. "Jadi, pada prinsipnya anak-anak
itu dilarang bekerja. Tetapi apabila dalam keadaan terpaksa karena ekonomi dan
sosial dari anak itu tidak menguntungkan, anak itu boleh bekerja tetapi tidak
boleh menyimpang dari ketentuan dalam UU yang diatur dalam UU no 13 2003,"
ungkap Direktur Jenderal Pekerja Wanita dan Anak, Nur Aisiah di kantornya.
Anak
diperbolehkan bekerja jika dalam kondisi ekonomi yang memaksa. Syaratnya, si
anak memiliki ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam undang-undang no 13 tahun
2003 tentang undang-undang ketenagakerjaan. "Dalam UU disebutkan, usia
tidak boleh kurang dari 13 - 15 tahun dan hanya boleh bekerja pada jenis-jenis
pekerjaan ringan yang tidak membahayakan fisik, mental dan moral anak,
syaratnya tidak boleh lebih dari 3 jam dan harus seizin orang tua. Disamping
itu, anak juga harus tetap bersekolah," terangnya. Namun dalam situasi
yang paling buruk, anak-anak selalu terjebak dalam situasi kerja paksa atau
diperdagangkan menjadi pekerja rumah tangga yang kondisinya mirip dengan
perbudakan.
Organisasi
Buruh Internasional (The International Labor Organization) ILO memperkirakan,
jumlah anak-anak perempuan berusia di bawah enam belas tahun yang bekerja di
sektor rumah tangga, jauh lebih banyak dari pada di sektor lain yang sama-sama
mempekerjakan anak-anak. Di Indonesia, ILO memperkirakan ada sekitar 700,000
PRT anak. Kondisi pekerjaan para pekerja rumah tangga yang sangat eksploitatif
sering membuat pekerjaan ini menjadi salah satu dari bentuk perlakuan yang
paling buruk bagi pekerja anak.
Di
Indonesia, memang tidak sebanyak laporan yang disampaikan oleh para pekerja
anak dari luar negeri. Walaupun volumenya rendah, namun tingkat kejadian pada
pekerja anak di Indonesia lebih mencolok pada tingkat kejadiannya. Pekerja anak
di Indonesia, sebenarnya merupakan persoalan klasik. Hanya saja jika pada tahun
1976 hanya 13,9% anak yang menjadi buruh, kini jumlah buruh anak bisa jadi
sudah berkali--kali lipat yakni mencapai 80 juta orang, atau hampir 70% dari
total penduduk. Laporan
yang disampaikan ILO dalam releasenya menyebutkan, sekitar 8,4 juta anak di
seluruh dunia terjebak dalam perbudakan perdagangan, praktek ijon, pelacuran
pornografi dan pekerjaan terlarang. 1,2 juta diantaranya bahkan telah
diperdagangkan. Angka ini belum termasuk 246 juta anak yang menjadi buruh anak.
Menghenyakkan
kita memang. Tapi yang lebih membuat geram, bahwa 3 juta dari 8,4 juta yang
dilaporkan, ternyata adalah anak-anak Indonesia. Mereka terpaksa bekerja dan
tak jarang harus melakukan pekerjaan yang membahayakan perkembangan mental
fisik dan emosionalnya. Mayoritas dari mereka, bekerja di sektor pertanian yang
tidak bebas dari penggunaan bahan kimia dan peralatan berbahaya atau di
jermal-jermal yang tingkat bahayanya tidak saja bersifat fisik dan biologis.
Sementara lainnya memilih menjadi anak jalanan, pembantu rumah tangga, pekerja
seks dan pekerja pabrik.
Hasil
laporan Badan Pusat Statistik terhadap survey pekerja anak di Indonesia,
jumlahnya mencapai 2,8 juta anak hingga tahun 2006. Dari jumlah tersebut,
jumlah terbanyak adalah dari kaum perempuan yakni 1.734.126 orang dengan
laki-laki 130.948 orang. Itulah
sebabnya ILO sejak awal telah menetapkan program penanggulangan buruh anak
sebagai prioritas utama. Pemerintah Indonesia sendiri sejauh ini lebih bersikap
pasrah dan mendukung sepenuhnya program-program ILO. Nur Aisiah mengakui, bahwa
sebenarnya dari sisi perundangan sudah lama diupayakan perlindungan terhadap
pekerja anak ini. Sejumlah Rencana Aksi Nasional atau RAN telah pula
ditetapkan. "Kami memiliki Rencana Aksi Nasional atau RAN tentang
pekerjaan-pekerjaan terburuk yang dilakukan anak. Terutama salah satunya adalah
anak yang dilacurkan. Sudah ditetapkan pula tiga tahapan untuk melaksanakan Rencana
Aksi Nasional tersebut."
Ada
tiga tahapan yang dicanangkan dalam RAN dan masing-masing tahap berlangsung
selama lima tahun. Lima tahun pertama yang akan dicapai adalah:
1)
Tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menghapus bentuk-bentuk terburuk pekerjaan
bagi anak.
2)
Terpetakannya pekerjaan tersebut dan upaya penghapusannya.
3)
Terlaksananya program penghapusan bentuk-banetuk pekerjaan terburuk untuk anak,
seperti; pekerjaan di lepas pantai penyelaman air dalam, pekerja anak yang
diperdagangkan untuk pelacuran, pekerja anak di pertambangan industri alas
kaki, industri serta peredaran narkotika dan NAZA.
Ini
merupakan target yang akan dicapai dalam lima tahun pertama dari RAN.
Permasalahan yang kini dihadapi oleh Departemen Tenaga Kerja yakni, proses
menarik mereka para pekerja anak dari lingkungan kerja yang tidak sesuai dengan
ketentuan undang-undang. "Kami justru mendapat perlawanan dari para orang
tua anak," ungkap Nur Aisiah. Akibatnya, proses penyelamatan anak pekerja
terbentur pada sisi ekonomi yang dihadapi oleh para orang tua pekerja anak.
Depnaker
sendiri telah melakukan pembentukan posko-posko rencana aksi di setiap kantor
cabang provinsi dan kabupaten. Dari 32 provinsi yang ada, baru terbentuk di 12
provinsi. Sementara untuk wilayah seluruh kabupaten yang berjumlah 58 kantor
telah terbentuk kantor cabang pembantu di 51 kabupaten. Namun, kebaradaan
mereka tidak di dukung oleh pemerintah daerah baik dari segi politik dan
anggaran.(Her/Ijs)
Artikel 9
SELAMATKAN ANAK BANGSA
Tulisan ini dibuat berdasarkan beberapa sumber data yang
akurat serta pengalaman kami dalam pelayanan anak jalanan Yayasan YBK moveta
(Adulam Ministri) mulai tahun 2001 sampai sekarang. Untuk apa?.. untuk
menggugah kepedulian kita terhadap suatu perubahan manusia Indonesia bermula
dari usia dini anak bangsa. Kepedulian untuk menyelamatkan calon pemimpin
Indonesia masa mendatang.
Sebenarnya Pancasila jelas merumuskan tujuan bangsa yang
salah satunya untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi segenap
warganya. Hal ini sebenarnya terwujud dari program sosial-kemanusiaan
pemerintah dibantu oleh lembaga-lembaga yang terkait dan menitik beratkan pada
kesejahteraan anak-anak bangsa, baik dari segi pendidikan maupun ekonomi. Akan
tetapi, yang sering terjadi selama ini, program-program kemanusiaan untuk
anak-anak masih tidak optimal bahkan cenderung terabaikan. Padahal jika kita
bebicara permasalahan sosial maka masalah anak-anak jalanan, putus sekolah dan
anak terlantar mejadi bagian yang tidak bisa dihindari.
FAKTA
MENUNJUKKAN
Data menunjukkan jumlah anak putus sekolah di Indonesia
terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006 jumlahnya “masih” sekitar 9,7
juta anak. Namun, setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7
juta jiwa. Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2007 sekitar
155.965 anak Indonesia hidup di jalanan. Sementara pekerja di bawah umur
sekitar 2,1 juta jiwa. Anak-anak tersebut sangat rawan menjadi sasaran
perdagangan anak. Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang)
Departemen Pendidikan Nasional dan sensus nasional tahun 2002 menyebutkan anak
Indonesia yang putus sekolah di tingkat SD sebesar 1,46 persen, putus sekolah
di tingkat SMP/MTs sebesar 2,27 persen dan di tingkat SMA sebesar 2,48 persen.
Selain itu masih ada sekitar 283.990 anak yang buta aksara. Salah satu penyebab
anak putus sekolah itu adalah gizi buruk. Dari 23,725 juta anak Indonesia, 1,25
juta mengalami gizi buruk.. Selain masalah pendidikan, mereka yang kurang
beruntung akhirnya harus bernasib menjadi anak jalanan, anak yang
diperdagangkan, anak korban eksploitasi, anak yang berkonflik dengan hukum,
anak yang mengidap HIV/AIDS dan anak korban narkoba. Belum lagi anak-anak yang
berkonflik dengan hukum. Bahwa ada kecenderungan anak semakin dieksploitasi
oleh orang tua atau terpaksa mencari nafkah, diungkapan Peneliti dari Lembaga
Demografi Universitas Indonesia, Donovan Bustami, yang mengutip data dari
Depnakertrans menyebutkan jumlah pekerja anak di Indonesia pada tahun 1995
sebesar 1,6 juta, kemudian meningkat menjadi 1,7 juta di tahun 1996 dan
meningkat kembali menjadi 1,8 juta pada tahun 1997. Tahun 1998 mencapai 2,1juta
anak..
Data itu tidak menggambarkan situasi yang sesungguhnya,
bahwa jumlah pekerja anak jauh lebih besar dari data BPS atau Depnakertrans.
Karena laporan Depdiknas menunjukkan bahwa antara tahun 1995-1999 tercatat 11,7
juta anak usia sekolah yang terpaksa putus sekolah dengan alasan bekerja.
FAKTA
ANAK JALANAN
Data terakhir (2008) yang dilansir Badan Pusat Statistik
(BPS) menyebutkan bahwa anak jalanan Indonesia berjumlah 154.861 jiwa. Menurut
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA, 2007), hampir separuhnya, yakni
75.000 anak jalanan berada di Jakarta. Sisanya tersebar ke kota-kota besar
lainnya seperti Medan, Palembang, Batam, Serang, Bandung, Jogja, Surabaya,
Malang,semarang dan Makassar.
Anak
jalanan dapat dibagi dalam tiga kategori, yakni:
1.Children
of the Street
24
jam hidup di jalanan. Makan, tinggal, tidur, dan bekerja di jalan.Tidak ada
lagi kontak dengan keluarga, tidak lagi pulang ke rumah (meskipun ada). Tidak
bersekolah.
2.Children
on the Street
Masih
memiliki keluarga dan pulang ke rumah, sebagian ada yang bersekolah. Kategori
inilah yang meroket jumlahnya semenjak krisis 1997 melanda Indonesia, berhubung
penghasilan orang tua yang menurun karena gelombang PHK dan krisis ekonomi yang
melanda. Membantu orang tua termasuk membiayai biaya sekolah menjadi salah satu
alasan mereka bekerja di jalan.
3.Children
Vulnerable to Be on the Street
Kelompok
anak yang berteman dengan 2 tipe di atas & terkadang ikut-ikutan turun ke
jalan. Yang melihat “asyiknya” gaya hidup jalanan: bebas, punya uang, dll.
Tinggal menunggu the “crash” moment seperti dipukul orang tua, perceraian,
bencana (kebakaran, penggusuran, banjir, dsb) untuk masuk dalam tipe 1 atau 2.
Menurut hasil penelitian di 12 kota besar yang dilakukan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan, jumlah anak jalanan tahun 2003 sebanyak
147.000 orang. Dari data tersebut terungkap, sebanyak 60% putus sekolah, 40%
masih sekolah. Sedangkan sebanyak 18% adalah anak jalanan perempuan yang
berisiko tinggi terhadap kekerasan seksual. Selain itu, banyaknya anak turun ke
jalan tidak lain karena kemiskinan yang menerpa keluarga mereka. Berdasarkan
survei yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, alasan anak bekerja
di jalan benar karena membantu pekerjaan orangtua sebanyak 71%, dipaksa membantu
orangtua 6%, menambah biaya sekolah 15%. Sedangkan alasan ingin hidup bebas,
untuk uang jajan, dapat teman, dan lainnya sekitar 33%. Tapi dari survey yang
dilakukan beberapa LSM-LSM independent termasuk survey Yayasan YBK MOVETA
(2001-2008) di semarang didapati alasan anak turun ke jalan dan menjadi ‘anak
jalanan’ adalah 80% masalah ketidak harmonisan dalam rumah tangga. Sedangkan
sisanya merupakan masalah ekonomi secara umum di Indonesia dipercaya alasan
utama anak turun kejalan alasan ekonomi keluarga masih menjadi pendorong utama
anak bekerja di jalan. Akibatnya sebanyak 13% anak jalanan mengalami putus
sekolah dalam usia sekolah karena kekurangan biaya. Ada satu fakta menarik,
yaitu si anak bisa menjadi sumber ekonomi keluarganya. Sebab pada umumnya
seluruh penghasilan mereka diberikan kepada orang tuanya. Artinya, ternyata
memang anak jalanan itu menjadi aset ekonomi keluarga. Dan hal tersebut yang
mempersulit menarik anak dari jalanan dan mengembalikan mereka ke dunia
anak-anak. Bahkan dalam berbagai kasus malah orang tua anak sendiri yang
mengharuskan si anak untuk tidak sekolah tapi menganjurkan untuk “cari duit”
saja. Buat apa sekolah demikian kata mereka “wong” dengan ngamen saja sudah
dapat uang kok.
SIAPAKAH
YANG BERTANGGUNG JAWAB?
Lalu, ke mana dan kepada siapakah anak-anak ini bisa
mengadukan nasibnya? Orang tua mereka sendiri tiap hari banting tulang mencari
nafkah di sektor informal dengan gaji yang hanya cukup untuk makan. Yang lain
terlalu sibuk dengan urusan mereka sehingga si anak tidak menemukan kasih
sayang dirumah. Sesuai bunyi UUD 1945 pasal 34 ayat 1 “Fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, maka pemerintah memang menjadi
pihak yang paling bertanggung jawab dalam menangani nasib anak-anak Indonesia
yang terlantar. Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) pernah diluncurkan,
rumah-rumah singgah didirikan dan disubsidi, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM) dihadirkan di sejumlah titik, namun belum mampu mengurangi eksodus
anak-anak marjinal ini ke jalan.
Tangggung jawab pemerintah sajakah? Tentu saja tidak.
Nasib bocah-bocah kurang beruntung itu adalah tanggung jawab kita semua, bahkan
bisa jadi kitalah yang membuat mereka betah di jalan. Dalam kasus anak jalanan
bila kita kalikan jumlah mereka sesuai data BPS di atas (150.000 anak) dengan
jumlah penghasilan yang mereka peroleh perhari berkisar Rp 20.000 (perhitungan
paling minim,biasanya 30.000), maka setiap harinya rakyat Indonesia membuang
receh sebesar 3 milyar rupiah.
Satu angka dahsyat yang mungkin tidak pernah terpikirkan
oleh kita karena mengganggap memberi lembaran seribu tatkala menemui
tangan-tangan kecil yang menengadah adalah satu filantropi minimal yang bisa
kita lakukan. Patut disayangkan bila nominal sebesar itu seringkali mereka
habiskan sesuai natur anak untuk jajan, bermain dingdong atau tempat penyewaan
play station. Bila tidak, mereka masih harus menghadapi kemungkinan diperas
oleh preman, menyetor ke orang tua atau para senior, atau untuk tebusan saat
mereka terjaring operasi kamtib. Akan lebih baik bila jumlah sebesar itu
diperuntukkan untuk bantuan yang bersifat jangka panjang, seperti beasiswa
sekolah, asupan nutrisi rutin, modal usaha bagi orang tua mereka, pembekalan
ketrampilan bagi anak putus sekolah,dan program-program bermanfaat lainnya.
Penanganan nasib komunitas anak marjinal tidak bisa
ditunda lagi dan dibiarkan berlarut dengan asumsi ada pemerintah, LSM serta
aktivis sosial yang menangani. Angka 12,7 juta anak yang putus sekolah (Komnas
HAM; 2004), 4,2 juta pekerja anak (ILO; 2007), ditambah mereka yang mengalami
malnutrisi, korban trafficking, korban fedofilia, korban penjualan organ
(seperti kasus mutilasi bocah yang sempat dikira Asep), dan hal-hal destruktif
lainnya adalah satu jumlah angkatan besar yang memberi kontribusi signifikan
bagi kualitas manusia Indonesia di masa depan. Mereka adalah calon ayah, calon
ibu, calon pekerja, calon pemimpin yang bila kualitasnya sudah demikian buruk
di masa sekarang, menjadi cerminan bagaimana kualitas mereka 10-20 tahun
mendatang. Nasib bangsa ini, suka tidak suka, berbagian dengan mereka.
Mari ambil bagian mulai dari sekarang, meski itu hanyalah
hal kecil yang bisa kita lakukan. Setidaknya itu lebih baik daripada tidak
berbuat sama sekali. Daripada memberi uang yang sebagian besar tidak mereka
nikmati, mulailah memberi sesuatu yang memiliki manfaat langsung ke mereka dan
bukan filanteropi tanpa manfaat. Salurkan beasiswa kepada anak-anak yang
berprestasi melalui lembaga yang bisa dipercaya atau bentuk bimbingan belajar
di lokasi di mana mereka sering berkumpul. Aksi kecil yang positif secara
agregat bisa memberi kontribusi nyata untuk menyelamatkan tunas-tunas bangsa
ini.
Artikel 11.
Jumlah Pekerja Anak di Indonesia Masih Tinggi
Senin, 30
April 2007 | 22:45 WIB
TEMPO Interaktif,
Jakarta:Jumlah pekerja anak di Indonesia ternyata masih tetap tinggi. Menurut
Koordinator International Labour Organization (ILO) Bidang Penanganan Pekerja
Anak, Abdul Halim, mengatakan jumlah pekerja anak di Indonesia mencapai 2,6
juta jiwa. Angka tersebut tidak jauh berbeda dengan angka tahun 2004 sebesar
2,8 juta. "Padahal undang-undang pada dasarnya melarang anak untuk
bekerja," katanya sebuah diskusi di Hotel Acacia, Jakarta, Senin (30/04).
Menurut dia, banyaknya jumlah pekerja anak sangat dipengaruhi oleh tingkat
kemiskinan penduduk. Kendati, kemiskinan bukan satu-satunya penyebab anak-anak
terpaksa bekerja.
Maraknya
sektor perekonomian informal menjadi sebab lain yang membuat anak terdorong
untuk bekerja. Selain itu,kegagalan pemerintah dalam menciptakan sistem
pendidikan juga berperan menyumbang pekerja anak. Hasil pengumpulan data yang
dilakukan ILO menyebutkan sekitar 40 persen dari total pekerja anak bekerja di
sektor pertanian. Selebihnya tersebar di sektor usaha alas kaki, perikanan
lepas pantai, dan pertambangan. "Bahkan ada juga beberapa yang bekerja
sebagai kurir bandar narkoba dan pelacur anak," katanya.
1 komentar:
:h:
Posting Komentar