Jumat, 11 Mei 2012

fotofolio PKN


A.   RUMUSAN MASALAH

Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa, hak asasi manusia (HAM). Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak segencar sebagaimana hak – hak orang dewasa atau isu gender, yang menyangkut hak perempuan. Perlindungan hak anak tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkah - langkah kongkrit. Demikian juga upaya untuk melindungi hak – hak anak yang dilanggar oleh negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak. Padahal anak adalah titipan Tuhan yang seharusnya diperlakukan sebagaimana mestinya dan serta merupakan belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset keluarga, agama, bangsa dan negara. Ditambah dengan adanya tuntutan ekonomi membuat maraknya orang tua yang memperkerjakan anak – anak mereka.
Konon mempekerjakan anak bawah umur kebiasaan yang telah ada sejak lama, pekerjaan yang ada  menarik anak dibawah umur karena tidak memerlukan kualifikasi tertentu. Beberapa  Konvensi ILO Nomor 138 membahas mengenai batas usia minimun anak diperbolehkan bekerja dan rekomendasi No. 146 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 telah mendeklarasikan bahwa “batas usia minimum anak diperbolehkan bekerja di Indonesia adalah 15 tahun” dan “pekerjaan apapun yang membahayakan anak-anak secara fisik, mental atau kesehatan atau moral anak tidak boleh dilakukan oleh mereka yang berusia dibawah 18 tahun”. Ketetapan usia minimum ini tentunya juga menjadi acuan bagi anak yang bekerja pada berbagai sector (pembantu rumah tangga, pabrik, dll). Namun persoalan ekonomi yang masih mendera bangsa ini mengakibatkan anak-anak terpaksa bekerja kendati belum memenuhi batas standar minimum untuk bekerja.
Pekerjaan yang biasa mereka geluti  adalah  melakukan pekerjaan sebagai tukang cuci, buruh bangunan, buruh pabrik, mengasuh anak, pemasak, dan cleaning service. Mereka berasal dari pedesaan, dari keluarga miskin, berpendidikan rendah. Keberadaannya di tempat kerja, tanpa perlindungan hukum, tanpa pengawasan pihak berwenang, tanpa ikatan kontrak kerja, tanpa uraian pekerjaan, tanpa aturan jam kerja, tanpa upah minimum, serta tanpa hari libur. Hal ini menjadi kondisi yang kurang menguntungkan bagi anak di bawah umur yang telah bekerja, yang semestinya dapat tumbuh kembang dan mendapatkan perlindungan, namun harus terjebak pekerjaan yang belum memiliki rambu-rambu hukum dan standar ketenagakerjaan. Ini berarti pekerja anak di bawah umur  berada pada situasi dan kondisi rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan.
Setelah melihat fakta yang ada, tidak sewajarnya anak-anak yang berusia di bawah umur (usia di bawah 18 tahun) untuk bekerja. Namun kasus ini  muncul di berbagai daerah negara ini masih kerap terjadi. Oleh karena itu, kami merasa tertarik untuk membahasnya di dalam portofolio  ini.
Adapun rumusan masalah yang kami gunakan dalam pembahasan portofolio ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari mempekerjakan anak di bawah umur?
2.      Bagaimanakah kondisi anak bawah umur yang telah bekerja  di Indonesia?
3.      Apa faktor penyebab munculnya pekerja anak bawah umur ini?
4.      Apa dampak negatif dari adanya pekerja anak bawah umur ini?
5.      Bagaimanakah keterkaitan undang-undang terhadap pekerja bawah umur ini.
Sejalan dengan latar belakang dan rumusan masalah yang kami bahas, maka tujuan kelompok kami dalam melakukan penulisan portofolio ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui mengenai realita pekerja anak bawah umur di Indonesia.
2.      Mendapatkan pengetahuan mengenai faktor serta akibat dari adanya pekerja anak bawah umur.
3.      Mengetahui undang-undang yang berkaitan terhadap pekerja anak bawah umur di Indonesia.
Manfaat yang dapat kita ambil dari portofolio ini dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek teoritis dan aspek praktis. Adapun manfaat yang bersifat teoritis diantaranya diharapkan penulis maupun pembaca sadar bahwa anak pun mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa. Kemudian diharapkan juga mampu memahamkan tentang hukum perlindungan anak yang berlaku di Indonesia baik bagi penulis maupun pembaca.
Jika ditinjau dari aspek praktis diharapkan kita lebih peka terhadap lingkungan sosial sekitar. Juga menambah rasa kepedulian terhadap anak – anak Indonesia yang ternyata masih banyak yang belum terpenuhi hak –haknya. Sehubungan kita pun merupakan mahasiswa yang berbasic pendidikan, dan kemungkinan besar akan menjadi seorang pendidik maka sudah selayaknya kita mencoba mengaplikasikan ilmu yang kita peroleh untuk orang – orang disekitar kita khususnya anak – anak yang dipekerjakan, tidak hanya ilmu yang kita fokus pelajari saat ini, tapi juga ilmu lainnya yang bisa kita dapat tidak hanya di bangku perkuliahan. Diharapkan juga mampu menyadarkan kepada penulis maupun pembaca bahwa di sekeliling kita masih banyak orang–orang yang lebih tidak beruntung dibanding kita.
B.     REFERENSI

1.    STUDI LITERATUR
A.  Pendahuluan
Sebgai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak beragama, serta hak berkepercayaan.Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan.HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan mausia, sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apapun dan juga tidak boleh ada pembatasan dan pengekangan apapun terhadap kebebasan dasar manusia.
Oleh karena masalah  hak asasi manusia telah merambah di dalam kehidupan masyarakat dan merupakan persoalan bersama, maka masyarakat/mahasiswa terutama seyogyanya dikenalkan paa masalah HAM aga kita agar kita mengetahui dan menyadari dan kewajiban asasi dirinya dan hak asasi orang lain sehingga mereka akan terbiasa untuk menghormati diri dan hak-hak asasi orang lain.
B.  Hak Asasi Manusia
Hak Asasi manusia merupakan suatu konsep etika politik modern dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan.Gagasan ini membawa ke dalam sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesama manusia.Tuntutan moral tersebut sejatinya, merupakan ajaran inti semua agama.Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia tanpa adanya pembedaan dan diskriminasi.
Tuntutan moral itu diperlukan teruatama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau ‘dilemahkan’ dari tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa.Karena itu esensi dan konsep hak asasi manusia adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun; serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.
Kesadaran dan pentingnya HAM dalam wawancara global muncul bersmaan dan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan. Konsep HAM berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan bermartabat. Konsep HAM menerapkan manusia sebagai subjek, bukan objek, dan memandang manusia sebagai makhluk yang dihargai dan dihormatitanpa membedakan ras, warna kulit,  jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa maupun agamya.
1.      Pengertian HAM (Hak Asasi Manusia)
            Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, istilah “hak” diartikan sebagai sesuatu yang benar, kepemilikan, kekuasaan untuk melakukan sesuatu, atau kekuasaan yang benar atas sesuatu. Sedangkan “asasi” berarti bersifat dasar, pokok atau fundamental. Sehingga HAM adalah hak yang bersifat dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia seperti: hak hidup, hak berbicara dan lain-lain.
Bebearpa pengertian HAM:
a.       Hak-hak dasar/hak-hak pokok yang dbawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi ini menjadi dasar dari hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang lain.(Darji Darmoniharjo, pakar Hukum Indonesia)
b.      Ha yang memungkinkan orang hidup berdasarkan suatu harkat dan martabat tertentu(beradab).(Padmo Wahjono, Pakar hukum Indonesia)
c.       Hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat martabat manusia. (Ketetapan MPR-RI no. XVII/MPR/1998 tentang HAM)
d.      Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Ynang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat martabat manusia.(UU no.39 tahun 1999 tentang HAM pasal 1 angka 1)
e.       Hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran di dalam kehidupan msyarakat. (Tilaar,2001)
f.       Hak asasi bersifat umum (universal), karena diyakini bahwa beberapa hak dimiliki tanpa perbedaan ata bangsa, ras, agama, atau jenis kelamin. Dasar dari hak asasi bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya. (Miriam Budiarjo, 1994)

2.      Jenis-jenis Hak Asasi Manusia
Berdasarkan subjeknya dibedakan menjadi:
1)      Hak-hak asai individu.
2)      Hak-hak asasi kolektif/sosial.
Menurut Sri Soemantri, dibedakan menjadi:
1)      Hak asasi manusia klasik (de klasieke grondrechten)
Yaitu hak asasi manusia yang timbul dari eksistensi manusia, seperti hak untuk berpendapat dan berkumpul, hak untuk menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tertulis, dan hak menganut agama tertentu.
2)      Hak-hak asasi manusia sosial
Yaitu hak yang berhubungan dengankebutuhan manusia baik yang bersifat lahiriyah maupun rohaniah.

Dalamperpustakaan barat HAM dikenal dengan istilah Human Right  yang kemudian semakin berkembang di tiap-tiap negara. Magna Charta menjadi benih dan fair trial, sengketa hukum antara kaum bangsawan asli Inggris diselesaikanmenurut adat, yang dikenal dengan sebutan Common Law. Kemudian dan berturut-turut lahir The Greater Charter of Liberties (1297), Petition of Right (1628), Habeas Corpus Act (1697) dan terakhir dengan terjadinya revolusi besar yang disebutThe Glorius Revolution telah melahirkan Bill of Right (1689) yang menyebabkan kerajan Inggris beralih pemerintahan parlementer.
            Tahun 1946 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk komisi HAM yang hasilnya diterima secara bulat dalam siding PBB tanggal 10 Desember 1948 sebagai universal declaration of human right. Deklarasi ini terdiri dari 30 pasal, yang diawali oleh bagian mukadimah yang mengemukakan beberapa pertimbanhan, perlunya HAM, yaitu:
1)      Pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dihilangkan dari semua anggota masyarakat dunia ialah dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia.
2)      Mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia telah mengakibatkan perbuatan yang bengis dan kejam.
3)      Hak-hak asasi manusia, perlu dilindungi oleh peraturan hukum.
4)      Perlunya peningkatan persahabatan antar bangsa.

Menurut Jenisnya:
1)      Hak-hak asasi pribadi/personal/rights, seperti:
Kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memilih agama, kebebasan bergerak, dan sebagainya.
2)      Hak-hak asasi ekonomi/property right, seperti:
Hak unruk memiliki sesuatu, membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
3)      Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau yang biasa disebut right of legal equality.
4)      Hak-hak asasi politik/political right a hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, seperti: hak pilih, hak mendirikan parpol, ormas, dan sebagainya.
5)      Hak-hak asasi social dan kebudayaan/ social enculture right, seperti: hak untuk memilih pendidikan, pengembangan kebudayaan, dan sebagainya.
6)      Hak-hak asai untuk mendapatkan perlakuan tatacara peradilan dan perlindungan/procedural right, seperti: hak untuk mendapatkan perlindungan dalam hal terjadi penangkapan, penggeledahan, penahanan, peradilan, dan sebagainya.
7)      Hak-hak asasi untuk membangun/ right to development, yaitu hak asasi bagisuatu Negara untuk membangun atau komunitas untuk membangun negaranya tanpa campur tangan Negara asing.

C.  Sejarah dan Perkembangan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia
            Perjuangan Hak asasi manusia di Indonesia yang mencerminkan bentuk pertentangan yang sangat besar boleh dikatakan terjadi setelah masuk dan bercokolnya bangsa asing di Indonesia untuk jangka waktu yang lama, sehingga timbul berbagai perlawanan dari rakyat untuk mengusir penjajah.Dengan demikian sifat perjuangan dan perwujudan tegaknya HAM di Indonesia itu tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan menyeluruh yaitu kepentingan bangsa Indonesia secara utuh.
            Dimulai pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, kemudian dilanjutkan oleh para tokoh yang menjadi pemimpin perlawanan-perlawanan terhadap penjajahan yang kemudian menjadi pahlawan bangsa seperti; Imam Bonjol, Teuku Umar dan Pangeran Antasari.
            Dengan berkembangnya zaman kemudian muncullah berbagai pergerakan yang dipelopori oleh Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908, dan pada 28 Oktober 1928 berkumandang sumpah pemuda hingga tercetuslah Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
            Akhirnya ketetapan MPR-RI Ynag diharapkan memuat secara tegas adanya HAM itu diwujudkan dalam masa orde reformasi, yaitu selama sidang istimewa MPR-RI yang berlangsung dari tanggal 10-13 November 1998, diputuskan dalam rapat paripurna ke-IV tanggal 13 November 1998, berupa lahirnya tetapan MPR no. XVII/MR/1998 tentang HAM, yang kemudian menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya Undang-Undang no.39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia yang disahkan pada tanggal 23 September 1999, dicantumkan dalam LNRI tahun 1999 no. 165.
            Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang disahkan dan di undang-undangkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI tahun 1998 no. 181.
D.  Pemahaman Hak Asasi Manusia dalam Pancasila
            Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugrah tuhan Yang Maha Esa. Dalam Kehidupan bermasyarakat hak-hak ini tidak dapat dituntut pelaksanaanya secara mutlak, karena penuntutan hak-hak asasi secara mutlak akan dapat melanggar hak asasi yang sama dari orang lain. Hak-hak asasi mutlak akan dapat melanggar hak asasi yang sama dari orang lain. Hak asasi manusia biasa disebut dengan “hak-hak dasar” yang meliputi : Hak-hak dalam lapangan politik, ekonomi, social, kebudayaan, dan yuridis” dan “Kebebasan-kebebasan dasar” yang meliputi “Kebebasan dalam lapangan kekebasan pribadi dan rohani”.
            Hak-hak dalam kebebasan dasar atau hak-hak asasi manusia yang terkandung dalam sila-sila pancasila adalah:
1.      Hak asasi manusia dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Setiap orang dijamin untuk melakukan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Setiap agama dipandang sama hak dan kedudukannya terhadap Negara.
2.      Hak asasi manusia dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Setiap orang berhak untuk diperlakukan secara pantas, tidak boleh disiksa dan dihukum secara sewenang-wenang, tidak boleh dihina atau diperlakukan secara melampaui batas, ia berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang.
Sila kemanusiaan ini berarti pula: suatu kemerdekaan bagi segala bangsa dengan menolak kolonialisme dan imprealisme dan setiap bangsa berhak untuk menentukan bentuk dan corak negaranya sendiri.
3.      Hak asasi manusia dalam Persatuan Indonesia
Persatuan Indonesia atau kesadaran kebangsaan Indonesia lahir dari keinginan untuk bersatu sebagai suatu bangsa, lahir dari sikap mengutamakan kepentingan suku, golongan, partai dan lain-lain.
Kesadaran kebangsaan ini meupakaan tanda adanya keinginan untuk mempertahankan hak asasi manusia, sebab tanpa adanya kesadaran kebangsaan tidak ada jaminan bahwa hak asasi manusia mendapatkan perlindungan.
Perasaan kebangsaan Indonesia keluar bersifat persahabatan dengan bangsa-bangsa lain dalam dasar sama derajat, anti kolonialisme dan imprealisme.
4.      Hak asasi dalam Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan Perwakilan
Kerakyatan berisi pengakuan akan harkat dan martabat manusia yang berarti pula menghormati an menjunjung tinggi segala hak asasi yang melekat pula padanya.
Hak asasi dalam sila kerakyatan terwujud seperti “hak mengeluarkan pendapat hak berkumpul dan berpendapat, hak ikut serta dalam pemerintahan dan jabatan-jabatan negara kemerdekaan pers dan sebagainya.”
Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Masalah pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan hak asasi manusia.Demokrasi pancasila dengan musyawarah dan mufakatnya memberikan nilai tinggi terhadap HAM.

5.      Hak asasi manusia dalam Keadilan sosial bagi seliruh rakyat Indonesia.
Keadilan sosial berwujud hendak melaksanakan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat, ini berarti:”Bahwa setiap orang dapat menikmati kehidupan yang layak sebagai manusia yang terhormat, setiap orang berhak mendapat nafkah dan jaminan hidup yang layak dalam lapangan ekonomi dan sosial dengan saling harga-menghargai dan bantu-membantu”. Keadilan sosial adalah hak asasi manusia seperti hak hidup, hak milik, hak atas pekerjaan, dan sistem pengubahan yang baik dan adil.
E.   Hak Asasi Manusia Dalam UUD 1945
Dalam rangkaian amandemen UUD ’45 terjadi perubahan yang besar dalam aturan yang membahas tentang warga negara.Dalam perubahan kedua UUD 1945 yang ditetapkan oleh MPR, tanggal 18 Agustus 1945.
Pasal tentang HAM ditulis dalam bab tersendiri, yaitu Bab XA, pasal 28 yang terdiri dari 10 pasal.Dengan adanya bab khusus tentang HAM ini, berarti memantapkan keinginan kita untuk menjunjung HAM dinegara tercinta ini.

F.     Undang – Undang 1945 yang Mengatur Hak – hak Warga Negara
            Berkenaan dengan tema makalah portofolio yang kami bahas yaitu tentang HAM pada anak, maka dirasa perlu dipahami terlebih dahulu mengenai hak dan kewajiban warga negara. Dalam batang Tubuh UUD 1945, hak – hak warga negara diatur dalam beberapa pasal. Adapun pasal – pasal dalam UUD 1945 yang mengatur hak – hak warga negara khususnya yang berkenaan dengan hak anak adalah sebagai berikut :
1.    Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 tentang Hukum dan Pemerintahan
“ Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahannya itu dengan tidak ada kecualinya “.
2.    Pasal 27 ayat 2 UUD 1945
“ Tiap – tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “.
3.    Pasal 31 ayat UUD 1945
“ Tiap – tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan “.
4.    Pasal 33 UUD 1945
“ Tiap – tiap warga negara berhak ikut dalam kegiatan perekonomian yang diusahakan bersama – sama “.
5.    Pasal 34 UUD 1945
“ Fakir miskin dan anak – anak terlantar dipelihara oleh negara “. Dengan kata lain, fakir miskin berhak dipelihara sesuai dengan kemampuan pemerintah. Didalam Undang – Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM, sebagian besar isinya mengenai hak – hak warga negara, diantaranya :
1)   Hak untuk hidup
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
2)   Hak mengembangkan diri
Setiap orang berhak atas perlindungan dan kasih sayang untuk pengembangan pribadinya, memperoleh, dan mengembangkan pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
3)   Hak keadilan
     Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil.
4)   Hak keamanan
Setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidakberbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya.
5)   Hak kesejahteraan
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin. Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan

Jika hal – hal tersebut dapat terpatri dalam sanubari masyarakat Indonesia, tentulah tidak akan ada lagi pelanggaran – pelanggaran HAM di negeri ini, khususnya pelanggaran HAM pada anak.

G. Langkah – langkah Untuk Meminimalisir Pelanggaran HAM
Untuk meminimalisir pelanggaran HAM di Indonesia dilakukan langkah-langkah berikut ini:
1. Pendidikan HAM di Persekolahan
            Departemen Pendidikan Nasional mengacu kepada UNESCO mencanangkan pendidikan yang berbasis HAM untuk semua jenjang pendidikan. Masalah HAM akan diimplementasikan dalam kurikulum pendidikan. Untuk pendidikan dasar dan menengah, masalah HAM akan diintegrasikan dalam mata pelajaran agama dan PKn (Asep Bunyamin : 2004). Sehingga dalam sekolah tidak hanya ilmu pengetahuan saja yang diajarkan tapi salah satunya disampaikan pula tentang Hak Asasi Manusia.Siswa akan lebih memahami HAM ketika HAM dipelajari di persekolahan.
            Ditengah banyaknya kejadian pelanggaran HAM, para siswa akan lebih sadar jika kenyataan tersebut bisa dipelajari secara langsung. HAM adalah sesuatu yang universal. Yang tercakup didalam HAM adalah hak hidup, hak beragama, dan hak-hak dasar lainnya yang orang lain-siapapun dia- tidak boleh mengganggu apalagi melanggar dan memaksakan.
2. Model Pembelajaran HAM oleh Guru
            Model langkah-langkah pembelajaran yang dapat dikembangkan oleh guru untuk mengadakan inkuiri dalam proses pembelajaran HAM, sebagai berikut:
a. merumuskan tujuan
b. menyajikan kata-kata yang perlu dipelajari
c. menyajikan ide-ide yang perlu dipelajari
d. memecahkan masalah
e. menerapkan kemampuan yang telah dikuasai
            Model pembelajaran lainnya, disebut proses inkuiri menurut Welton & Mallan (1998) memiliki langkah-langkah sebagai berikut:
a. menyadari adanya peristiwa yang kontroversial yang selanjutnya menjadi masalah yang harus dipecahkan
b. mengidentifikasi hipotesis (berupa penjelasan atau jawaban tentatif)
c. menguji hipotesis sesua dengan data dan informasi yang diperoleh sebagai berikut:
v  Apabila hipotesis ditolak maka masalah dapat dirumuskan kembali dan inkuiri kembali pada langkah kedua
v  Apabila hipotesis diterima maka inkuiri dapat melanjutkan pada langkah keempat
d. memodifikasi hipotesis menjadi kesimpulan sementara sampai data secara lengkap terkumpul
e. menguji kesimpulan sementara (apakah telah menjelaskan peristiwa yang kontroversial atau tidak).
3. Program Penegakkan Hukum dan HAM di Indonesia
            Program penegakkan hukum dan HAM, yang tercantum dalam PP nomor 7 tahun 2005, meliputi pemberantasan korupsi, anti terorisme, pembasmian penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya, serta penegakkan hukum dan hak asasi manusia harus dilakukan secara tegas, tidak diskriminatif dan konsisten.
            Untuk menciptakan kondisi yang lebih kondusif dalam rangka perlindungan dan penegakkan HAM di Indonesia dilakukan beberapa langkah, yakni: pembentukan kantor-kantor perwakilan Komisi Nasional di daerah, meningkatkan pemahaman tentang HAM kepada masyarakat luas termasuk aparatur negara dengan melaksanakan pendidikan dan pelatihan HAM secara berkelanjutan (pidato kenegaraan Presiden, 2005).
4. Pencapaian Indonesia dalam Pemajuan dan Perlindungan HAM
            Ada beberapa pencapaian Indonesia dalam pemajuan dan perlindungan HAM, menurut Hasan Wirajuda dapat diikuti dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, sejak 1991 sampai dengan 2004, diantaranya:
1.      Merintis reorientasi kebijakan nasional di bidang HAM pada masa orde baru, Departemen Luar Negeri bekerja sama dengan pusat HAM PBB telah menyelenggarakan serangkaian lokakarya, yakni lokakarya nasional HAM ke-1 pada tanggal 21-22 Januari 1991, lokakarya regional PBB ke-2 pada tanggal 26-28 Januari 1993 dan lokakarya nasional ke-3 pada tanggal 24-26 Oktober 1994.
2.      Komisi anti kekerasan terhadap perempuan telah dibentuk pada tahun 1998 dengan Keputusan Presiden No.181 tahun 1998 dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dibentuk pada tahun 2003 melalui Keputusan Presiden No.77 tahun 2003.
3.      Disamping mengikatkan diri pada berbagai instrumen pokok HAM internasional, Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Undang-Undang yang melindungi isutematis HAM lainnya seperti Undang-Undang No.26 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
4.      Pemerintah Indonesia juga telah menandatangani protokol tambahan konvensi hak anak mengenai perdagangan, prostitusi dan pornografi anak serta keterlibatan anak dalam konflik bersenjata dan protokol tambahan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
5. Kerjasama Internasional dalam Bidang HAM
            Kerjasama internasional baik secara bilateral, regional dan multilateral dalam kemajuan dan perlindungan HAM, terlihat dari berbagai kegiatan (Wesaka Puja, 2005) :
1.      Kerjasama bilateral yang telah dilaksanakan antara lain adalah dialog Indonesia-Norwegia mengenai HAM yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 4-5 Mei 2004. Indonesia melakukan kerjasama dengan Norwegia dan Prancis yang dimaksudkan sebagai upaya memperkuat berfungsinya pengadilan HAM Ad Hoc Tim Tim.
2.      Upaya lain yang dilakukan adalah peningkatan kerjasama antara Komnas HAM Indonesia, Thailand dan Filiphina untuk memberikan kontribusi dalam mewujudkan ASEAN security community dan mekanisme HAM ASEAN.
3.      Dalam kancah internasional, dalam bidang kemajuan dan perlindungan HAM, kiprah Indonesia semakin meningkat dan semakin diakui oleh masyarakat internasional. Ini dapat dilihat bahwa Indonesia terpilih sebagai ketua HAM dan Dubes/Watapri Jenewa.
4.      Dalam sidang-sidang PBB mengenai HAM, posisi dasar pemerintah Indonesia adalah menolak segala resolusi yang ditujukan kepada negara tertentu (Country Specific Resolution). Pemerintah Indonesia selalu mengambil posisi Against dalam pemungutan suara Country Specific Resolution.
(Ganeswara,Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi : 2002. Hal 78 -101)

2.    WEBSITE
A.  Pelanggaran Hak Asasi Anak di Indonesia
Hak asasi merupakan hak mendasar yang dimiliki setiap manusia semenjak dia lahir. Hak pertama yang kita miliki adalah hak untuk hidup seperti di dalam Undang Undang No. 39 tahun 1999 pasal 9 ayat (1) tentang hak asasi manusia, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf hidupnya”, ayat (2) “Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan bathin”, dan ayat (3) “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
Meskipun di Indonesia telah di atur Undang Undang tentang HAM, masih banyak pula pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran HAM yang baru-baru ini sedang marak adalah pelanggaran hak asasi perlindungan anak. Padahal di dalamnya sudah terdapat Undang Undang yang mengatur di dalamnya, antara lain Undang Undang No. 4 tahun 1979 diatur tentang kesejahteraan anak, Undang Undang No. 23 tahun 2002 diatur tentang perlindungan anak, Undang Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 diatur tentang ratifikasi konversi hak anak.
Ada banyak kasus tentang pelanggaran hak atas anak. Salah satunya adalah mempekerjakan anak di bawah umur. Survey terhadap pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Doli, di Surabaya ditemukan bahwa 25% dari mereka pertama kali bekerja berumur kurang dari 18 tahun (Ruth Rosenberg, 2003).
Dunia anak adalah dunia bermain dan belajar, dimana pada masa ini perkembangan anak dimulai. Ini adalah salah satu tugas perkembangan anak yang seharusnya dipenuhi. Jika tugas perkembangan ini tidak terpenuhi, maka akan menghambat bahkan merusak tugas-tugas perkembangan selanjutnya. Melihat banyaknya pekerja anak di bawah umur, hal ini akan membuat psikologi anak menjadi terganggu dan tugas perkembangannya pun menjadi terhambat.
(http://www.wikipedia.com)

B.  Pengertian Pekerja Anak di Bawah Umur
Gambar :www.google.com
Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil.Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil. Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah). Hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak sesuai dengan yang seharusnya karena tidak menjamin masa depan anak tersebut.
Sedangkan,seorang laki-laki ataupun perempuan dikatakan bawah umur,ketika umurnya masih kurang  dari 18 tahun.Keberadaan pekerja anak bawah umur ini mudah ditemukan di hampir setiap daerah di perkotaan. Pada umumnya tingkat pendidikan pekerja anak bawah umur  hanya sampai SD dan jarang sekali ditemukan mengkombinasikan sekolah sambil bekerja atau sampai lulus SMA. Anak-anak ini direkrut dari kampung atau desa di luar kota, berasal dari keluarga miskin, oleh penyalur atau kerabat dekat atau yang dikenalnya ditempatkan pada majikan (pengguna). Dalam pekerjaannya, pekerja anak bawah umur  memperoleh tugas mengerjakan pekerjaan rumahan, mengamen, jadi jokey, buruh pabrik, dagang asongan, tukang koran, hingga PSK. Semestinya calon pekerja mengikuti pelatihan dulu, namun umumnya mereka langsung ditempatkan pada majikan.
Menurut survey ILO tahun 2005 terdapat 688.132 PRTA atau 34,82% dari total PRT, yaitu sebanyak 2.593.399 jiwa pekerja anak  yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebagian besar pekerja anak bawah umur  bekerja 7 hari dalam seminggu, dalam jam kerja yang jauh lebih panjang dari pekerja di sektor mana pun. Sepanjang tahun 2003 terdapat 17 kasus kekerasan atas pekerja anak bawah umur, hampir 80%mengakibatkan gangguan tumbuh kembang anak.Anak-anak yang bekerja  rata-rata berpendidikan rendah (SD atau SMP). Dari data International Labour Organization, International Programme on the Elimination of Child Labour (ILO-IPEC), tahun 2005, terdapat 53% pekerja anak bawah umur di Indonesia yang berusia antara 12-18 tahun tidak pernah bersekolah atau tidak lulus sekolah dasar. Dan 47% yang berpendidikan SMP dan SMA (lulus dan tidak lulus).
C.  Faktor Penyebab Munculnya Pekerja Anak di Bawah Umur
Gambar :www.google.com
Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil. Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah), hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak sesuai dengan yang seharusnya karena tidak menjamin masa depan anak tersebut. Namun di balik hal tersebut banyak juga kebutuhan para pekerja anak yang harus dipenuhi, seperti keperluan makan sehari-hari dan mereka juga sering berpikir untuk meringankan beban orang tuanya.
Selain hal-hal yang di atas ada juga faktor-faktor yang mendukung yang menspekulasikan bahwa anak itu boleh bekerja sejak dini walapun dia kehilangan rasa ke kanak-kanakannya. Dan hal tersebut dapat di dukung dari adanya  berbagai persepsi orang tua dan masyarakat yang mengartikan bahwa anak bekerja tidak buruk serta kebanyakan anak juga mengatakan salah satu cara kami menunjukan bakti pada orangtua adalah dengan bekerja mengikuti orangtuanya membanting tulang selain itu juga merupakan bagian dari sosialisasi pada masyarakat namun di sisi lain banyak anak yang berkata bahwa bekerja sejak dini dapat melatih kinerja mereka karena dari bekerja sejak dini mereka memperoleh pengalaman sehingga mereka jadi lebih berpotensi dalam hal bekerja dan juga banyak orangtua yang bilang bahwa anak bekerja itu merupakan salah satu sikap tanggung jawab anak untuk membantu pendapatan keluarga.
Jadi menurut pandangan orangtua jika anak mereka yang rata-rata lulusan SLTP bekerja menjadi PRT, Dagang, Maupun mengemis bukan lah hal yang salah. Karena keterbatasan-keterbatasan itu lah yang membuat para orangtua merelakan anak-anaknya bekerja pada orang lain dan bahkan ada juga yang berkeliaran di jalanan untuk mengamen dan mengemis. Dibalik hal itu semua sebenarnya mereka tidak menginginkan anak mereka bekerja menjadi buruh seperti orang tuanya namun mereka menginginkan anak mereka tersebut menjadi anak yang bisa mengangkat derajat martabat keluarga. Tapi mungkin juga kita harus kembali lagi pada hal yang paling utama dalam kehidupan sehingga dengan rasa berat hati semua orangtua tersebut merelakan anka-anak mereka kehilangan masa kanak-kanaknya dan malah membantu mereka untuk bekerja.






Gambar :www.google.com
Tapi faktor yang paling mendasar dalam kejadian ini adalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu alasan orang tua mengirimkan anak-anaknya untuk bekerja di kota bahkan merelakan juga anaknya untuk bekerja di jalanan. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh para agen-agen (calo) merekrut anak-anak desa untuk bekerja di kota. Keberadaan para agen tumbuh subur di desa-desa miskin yang penduduknya tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Para agen berusaha mempengaruhi keluarga untuk mengirimkan anak-anak ke kota bekerja sebagai pekerja rumah tangga anak. Biaya transportasi dan biaya kebutuhan lain ditanggung oleh agen.
Orang tua PRTA biasanya senang mengirimkan anak-anaknya dan mereka percaya anaknya akan mendapat pekerjaan dan majikan yang baik. Sehingga orang tua berharap, anaknya dapat mengirimkan uang ke kampung. Harta yang paling berharga yang mereka miliki hanya anak dan mereka bekerja hanya mampu menjadi seorang PRTA dikarenakan mereka lulusan SLTP. Kemiskinan yang marak tersebutlah yang menjadikan anak-anak remaja bekerja.
Serta setidaknya setiap tahun terdapat jutaan anak di Indonesia usia 15-18 tahun yang telah menamatkan SLTP, tetapi tidak dapat melanjutkan atau tidak tertampung di SMU yang dominannya dikarenakan tidak adanya biaya untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi, serta anak-anak yang putus sekolah di SLTP telah membanjiri angkatan kerja terutama di indonesia ini. Oleh demikian pekerjaan rumah tangga merupakan salah satu sektor pekerjaan yang tidak memerlukan kualifikasi pendidikan dan keahlian yang tinggi, pekerjaan ini dapat menampung dan menyerap mereka dalam jumlah besar. Dan juga tidak merendahkan martabat serta hargadiri mereka dibandingkan menjadi pengamen dan pengemis di jalanan. Selain itu juga dikarenakan lemahnya sistem hukum dan penegakan hukum di negara kita ini menjadi salah satu faktor terbesar anak di bawah umur dapat bekerja. Selain belum adanya undang-undang yang memberikan jaminan dan perlindungan hukum, lemahnya hukum dan kurangnya penegakan hukum terhadap pelanggaran mempekerjakan anak, menjadikan anak sebagai target para agen, penyalur, dan majikan untuk direkrut sebagai pekerja, khususnya pekerja rumah tangga anak. Banyak pengguna jasa (majikan) yang lebih suka mempekerjakan anak-anak alasannya adalah anak lebih mudah diatur, tidak melawan, apa adanya, tidak ada cuti hamil, cuti melahirkan, mudah dibohongi dan ditipu serta bayaranya lebih murah dibandingkan dengan PRT dewasa.
Faktor yang lain bisa datang dari diri anak tersebut sendiri. Terlepas dari ingin meringankan beban orang tua, ada sebagian anak yang memang senang bisa mempunyai penghasilan sendiri dan bisa membeli segala macam kebutuhannya tanpa meminta kepada orang tuanya dan ada rasa kebanggan tersendiri. Selain itu, mereka cenderung tidak ingin melanjutkan sekolah bukan hanya karena tidak mempunyai biaya tapi juga dari diri mereka sendiri yang merasa malas untuk bersekolah dan merasa kurang nyaman dengan kegiatan persekolahan sehingga lebih memilih untuk mencari pekerjaan saja, salah satunya menjadi pekerja rumah tangga.
D.  Dampak Negatif  yang Dapat Dialami Pekerja Anak Bawah Umur
Gambar :www.google.com
Pekerja anak bawah umur  rentan mengalami tekanan serta perilaku tidak adil dari majikannya. Hal itu dikarenakan mereka  pada umumnya masih muda dan dianggap masih lugu. Beberapa hal yang rentan dialami oleh pekerja anak  bawah umur adalah sebagai berikut :
a.    Eksploitasi: dipekerjakan dengan waktu kerja yang tidak jelas dan sangat panjang dengan pemberikan upah yang tidak sesuai; atau tidak diberikan upah dan juga tidak diberi hari libur. Biasanya kerja paksa sering terjadi ketika anak sudah berada di tempat kerja, dan tidak bisa meninggalkan pekerjaan itu meskipun mereka tidak menyukai. Sebagai contoh, misalnya melakukan semua atau sebagian pekerjaan tetapi tidak ada imbalan gaji, jam kerja melebihi 8 jam sehari. Pada umumnya mereka hanya diam saja, menerima, takut karenammendapatmancaman.

b.    Kekerasan meliputi: 
·      Fisik, seperti pemukulan, penganiyaan, disiram air panas, disterika, disundut
rokok, dicambuk dan lain-lain.        
·      Psikis, seperti dimaki, dicela, diberikan panggilan yang tidak baik berupa
hinaan fisik atau direndahkan
.
·      Ekonomi, seperti pemberian upah tidak sesuai dengan perjanjian kerja atau
ditangguhkan dengan alasan pengguna jasa tidak ada uang bahkan upah tidak
dibayar.
·      Seksual, seperti dirayu, dipegang, dipaksa oral seks, pelecehan seksual,sampai upaya perkosaan.

c.    Kurangnya kesempatan bermain anak–anak yang sudah bekerja sebagai pekerja sulit bahkan tidak mungkin untuk bermain dengan teman-temannya. Mereka dapat bermain bila ke pasar atau mengasuh anak majikan atau bertemu dengan temannya.      

d.   Terhambatnya tumbuh kembang dan akses kesehatan
     Masa anak-anak adalah masa tumbuh kembang yang harus mendapatkan pemenuhan gizi yang cukup, berinteraksi, aktualisasi diri dengan lingkungan dan bila sakit mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.Namun hal ini sulit dipenuhi, sehingga kondisi kesehatannya kurang terperhatikan.

e.    Kurangnya Istirahat dan rekreasi     
Pekerja anak jarang bawah umur jarang mendapatkan istirahat yang cukup. Mereka bekerja rata-rata hampir 18 jam setiap hari, tanpa hari libur, dan cuti.Pekerja anak bawah umur dapat beristirahat tidur atau nonton TV dan melakukan rekreasi, jika majikan pergi keluar rumah.
f.     Masa depan yang kurang pasti        
Hak–hak pekerja anak bawah umur yang terabaikan dan tidak terpenuhi, berdampak pada Pekerja anak bawah umur tidak dapat tumbuh kembang dengan baik dan wajar. Ini berakibat pada masa depan dan cita-cita mereka tidak dapat terwujud.

(http://www.lbh-apik.or.id/fact-62%20PRTA.htm)  

E.  Peraturan dan Undang-Undang yang Berkaitan dengan Perlindungan Terhadap Pekerja Anak Bawah Umur 
Walaupun di Indonesia belum ada undang-undang yang secara khusus membahas mengenai PRTA, namun ada beberapa peraturan dan undang-undang yang dapat memberikan perlindungan mengenai keberadaan pekerja rumah tangga anak, di antaranya adalah sebagai berikut :

A. UU NO 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
         
Secara tegas memberikan perlindungan terhadap anak dari segala bentuk perlakuan salah, eksploitasi ekonomi, kekerasan, dan perdagangan anak.   

1.    {pasal 9 (1)} Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan social.         
2.    (pasal 11) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berkreasi, sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
3.    (Pasal 12) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.
4.    {pasal 16 (1)} Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.   
5.    {pasal 17 (1)} Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
·      mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penenpatannya dipisahkan dari orang dewasa
·      memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
·      membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.   
6.    (pasal 20) Negara, pemerintah, masyarkat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
7.    (pasal 21) Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan , jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan atau mental.

B.  Undang-Undang NO. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Mengatur mengenai hak-hak (seperti upah/ gaji) seseorang yang bekerja sebagai tenaga kerja.

C.  Undang-Undang NO. 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO NO. 182  
Pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak:
“Segala bentuk perbudakan atau praktik sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak dan penghambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata”.

(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0401/14/humaniora/802345.htm)



3.      IFORMAN
Berikut ini adalah hasil wawancara kelompok kami kepada beberapa pekerja rumah tangga dan majikan :         
1.      Aini (15), pekerja rumah tangga anak di Bandung         
T : Apakah kamu pernah bersekolah?     
J : Pernah,lulus SD aja trus langsung kerja.        
T : Apa alasan kamu bekerja ?
    
J : Ingin cari uang buat bantu orang tua membangun rumah, trus mau ke
Bandung cari pengalaman.  
T : Bagaimana tanggapan orang tua ?
     
J : kasih2 aja sih, lagian orangtua juga merasa lebih ringan bebannya
    
T : Sudah berapa lama bekerja dan apa saja yang dikerjakan?
   
J : Baru 2
bulan kerja disini sebelumnya pernah kerja dikampung, jagain anak-anak, disini saya merawat anak,menyuci,menggosok trus membantu memasak.     
T : Bagaimana perlakuan majikan kepada kamu selama bekerja?
           
J : Baik-baik saja, soalnya masih diajar-ajarin khan saya masih baru di sini.
      
T : Apakah anda tahu tentang larangan bagi anak di bawah umur untuk
bekerja ?       
J : Saya tidak tahu.
          

2.      Ika (17 tahun), pekerja rumah tangga anak di Geger Kalong     
T : Apakah kamu pernah bersekolah?
     
J : pernah sampai kelas 3 SD saja
T : Apa alasan kamu bekerja ?    
J : mau membantu orangtua mencari uang
          
T : Bagaimana tanggapan orang tua ?
     
J : setuju sekali, karena adik saya masih kecil-kecil dan butuh biaya
     
T : Sudah berapa lama bekerja dan apa saja yang dikerjakan?
   
J : Sudah 1 tahun lebih. Saya biasa mencuci, menggosok, menyapu,
mengepel, bantu masak, belanja, ya..intinya bersih-bersih rumah   
T : Bagaimana perlakuan majikan kepada kamu selama bekerja?
           
J : ya...namanya majikan kadang suka ngomel tapi ada baiknya

T : Apakah anda tahu tentang larangan bagi anak di bawah umur untuk
bekerja ?
J : tidak tahu.

3.         Nani (52 tahun), majikan, Ibu Rumah Tangga di daerah Geger Kalong.           
T : Mengapa anda memilih anak berumur belasan untuk bekerja ?
         
J : karena lebih mudah diatur untuk disuruh-suruh, lebih polos juga kaga macem-macem
.       
T : Bagaimana anda dapat memperkerjakan anak tersebut menjadi PRT ?
        
J : pembantu saudar
a saya yang menawarkan anak itu untuk bekerja.   
T : Adakah perlakuan khusus terhadap pembantu anda (PRTA)?
          
J : Biasa saja sih, sama kaya pembantu sebelumnya.
      
T : Apakah anda tahu tentang larangan bagi anak di bawah umur untuk bekerja ?
       
J : tidak tahu.
      
C.               KEBIJAKAN PUBLIK
Kebijakan publik sebagai salah satu kewenangan atribusi  fungsi pemerintahan dalam proses pembuatannya tidak terlepas dari konteks  relasi faktor-faktor  yang melingkupinya. Dalam pandangan Ripley, kebijakan publik itu diartikan sebagai apa saja yang diucapkan (says) dan apa saja yang dilakukan (does) oleh pemerintah tentang suatu persoalan. Artinya, kebijakan publik itu bisa berupa statement atau tindakan nyata pemerintah untuk memecahkan permasalahan publik.
Dalam konteks pemenuhan hak anak, pengembanan fungsi negara tersebut nampak pada politik negara dalam menetapkan kebijakan publik yang terformulasikan di dalam regulasi dan anggaran publik.  Pemenuhan hak anak ditandai dengan terdapatnya regulasi dan  alokasi anggaran publik yang secara khusus ditujukan untuk melidungi dan memenuhi  hak-hak anak.
Namun jika melihat realita yang ada, situasi dan kondisi anak-anak di Indonesia jauh dari kondisi yang diidealkan dalam instrumen hukum hak asasi manusia tersebut. Artinya terdapat kesenjangan antara apa yang seharusnya diidealkan oleh tatanan hukum tersebut dengan implementasinya dalam kehidupan anak-anak.
Negara perlu menetapkan pendekatan khusus  agar anak-anak  dapat menikmati sebesar mungkin hak asasi  mereka. Tindakan afirmatif (affirmative action) menjadi signifikan dilakukan oleh negara. Tindakan afirmatif adalah kebijakan, peraturan, atau program khusus yang bertujuan untuk mempercepat persamaan posisi dan kondisi yang adil bagi kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan lemah secara sosial dan politik. Tindakan ini merupakan suatu koreksi dan kompensasi atas diskriminasi, marjinalisasi, dan eksploitasi yang dialami oleh kelompok masyarakat tersebut agar memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna tercapainya kesetaraan dan keadilan pada semua bidang kehidupan. Tindakan-tindakan afirmatif  tersebut meliputi
1.         Memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan secara penuh berkesesuaian dengan prinsip-prinsip dan  ketentuan KHA ;
2.         Membuat suatu strategi nasional secara komprehensif guna memenuhi dan melindungi hak-hak anak ;
3.         Pengalokasian dan analisis anggaran publik  berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak.
Tindakan afirmatif apabila ditarik lebih jauh merupakan implementasi kebijakan publik dalam menyikapi suatu permasalahan publik. Merujuk pada konsepsi tersebut, maka pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak menjadi tanggung jawab negara. Dengan demikian, tindakan afirmatif merupakan kewenangan yang seharusnya dipilih oleh pejabat publik dalam menanggapi permasalahan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Penyusunan anggaran publik berbasis pemenuhan hak merupakan salah satu perwujudan tindakan afirmatif yang semestinya dilakukan Pemerintah.
  1. Peran strategis pemerintah sebagai penentu kebijakan
Sebagai pengatur perundang-undangan peran pemerintah dalam mensejahterakan wargannya sangat penting dilakukan. Menurut hill yang dimaksud dengan kebijakan sosial adalah strudi mengenai peran negara/pemerintah dalam kaitannya dengan kesejahteraan wargannya. Ada 3 metode kebijakan sosial yang dikenal umum untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Pertama, berupa program pelayanan sosial yang secara langsung dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Metode ini paling umum digunakan karena mempunyai formula yang jelas untuk mengatasi masalah sosial. Kedua, upaya untuk menyejahterakan warga negara dilakukan melalui produk perundang-undangan (statutory regulation). Misalnya pemerintah menetapkan UMK (upah minimum kabupaten) sebagai peraturan minimal upah buruh di setiap kabupaten. Ketiga, peningkatan kesejahteraan juga dapat dilakukan melalui sistem pajak. Penggunaan sistem pajak ini dikenal dengan istilah kesejahteraan fiskal (fiscal welfare). Di indonesia, dana pembangunan sosial juga ada yang berasal dari dana pajak misalnya untuk anggaran pendidikan. Harapan hubungan antara perusahaan dan pemerintah bisa sinergis. Pemerintah sebagai kontroling, perusahaan-perusahaan bisa mengefektifkan kinerjanya agar bisa optimal dalam menangani masalah kesejahteraan rakyat.
2.      Kebijakan sosial perusahaan
Pihak perusahaan inilah yang paling bertanggung jawab terhadap karyawannya. Dimana tenggung jawab perusahaan, sehingga bisa menerima karyawan dibawah umur, bagaimana pola rekrutmen pekerja dan strategi apa yang diterapkan guna menyuplay tenaga kerja.
Kebanyakan pengumuman lowongan secara terbuka tidak muncul dalam perusahaan-perusahaan itu. Akan tetapi cara gate-hiring*) adalah umum untuk rekrutmen pekerja. Melalui kontak-kontak dekat dengan teman-teman, sanak saudara atau kelurga para pekerja yang sudah terlebih dahulu bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut, para pemilik/majikan mengumumkan adanya lowongan pekerjaan.
Mengapa perusahaan bisa menerima karyawan di bawah umur? Kebanyakan dari pelamar menambah umur mereka dengan mengisi pada formulir pendaftaranya sesuai tahun usia produktif layaknya pekerja dewasa. Manipulasi umur itu dilakukan agar seolah-olah tidak terjadi pelanggaran. Pihak perusahaan pun seoalah menutup mata dan sama sekali tidak mempersoalkannya. Disinilah letak masalahnya, perusahaan seharunya melakukan kebijakan sosial perihal keryawan khususnya masalah perekrutan tenaga kerja. Gilbert dan terrell (2001) mengatakan bahwa kebijakan sosial meliputi proses dan produk. Sebagai proses kebijakan sosial adalah serangkaian tahapan yang diikuti oleh pemecahan masalah sedangkan sebagai produk kebijakan sosial adalah hukum, program, maupun keputusan pengadilan. Perusahaan harus melakukan evaluasi antara keduannya agar kebijakan sossial berjalan secara efektif (DU Bois dan Miley, 2005:252)
3.      Partisipasi masyarkat sebagai director of change
Mengapa masyarakat sebagai pengendali perubahan? Sebelum era industri masyarakat sangat menjaga nilai-nilai budaya setempat berbagai kegiatan sosial dilakukan guna meningkatkan soslidaritgas bersama setelah era industrialisasi nilai-nilai yang ada mulai redup, kegiatan-kegiatan sosial pun mulai jarang diadakan yang berkembang adalah nilai individualisme. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi dari pada sosial. Dengan demikian perlulah pengembangan masyarakat. Barker (2002:84) membuat catatan bahwa pengembangan masyarakat dilakukan oleh profesional mengembameningkatkan ikatan sosial antara anggota masyarakat, memotivasinya untuk dapat membantu dirinya sendiri (self-help), mengembangkan kepemimpinan lokal yang bertanggung jawab atau melakukan revitalisasi terhadap institusi lokal. Terkait dengan eksplotitasi anak, setelah pengembangan masyarakat dilakukan, diharapkan masyarakat sadar akan pentingnya pemenuhan hak-hak anak. mereka harus bertindak jika terjadi eksploitasi anak baik secara terang-terangan maupun secara halus. Pertisipasi dan dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan jika kita benar-benar mempunyai hati nurani dan tidak menginginkan aset bangsa kita tergadaikan oleh industrialisasi maka kita harus bergerak bersama melawan ketidakadilan menuju kesejahteraan bersama.
Kebijakan Nasional
Mengenai perlindungan pekerja anak, sebetulnya pihak pemerintah telah bekerjasama dengan ILO, membuat program penghapusan kerja-kerja terburuk untuk anak, termasuk perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak anak, seperti hak untuk memperoleh pendidikan, bermain dan sebagainya. Kemudian juga telah dibentuk Komisi program tersebut. Namun, ternyata masih saja ada persoalan pendidikan pekerja anak. Terutama anak-anak yang bekerja di sektor informal dan industri rumah tangga. Jumlah anak-anak dalam sektor ini demikian banyak dan setiap tahun bertambah, sehingga seringkali tidak tercatat secara pasti berapa jumlahnya. Mereka lah yang seringkali hak pendidikannya terabaikan.
Pemerintah melalui Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di daerah-daerah, telah membentuk Rumah Perlindungan Anak (RPA), untuk melindungi anak-anak seperti ini. Beberapa lembaga sosial atau lembaga swadaya masyarakat, juga telah membuat pelatihan atau pendidikan ketrampilan dan penyetaraan tingkat pendidikan untuk anak-anak ini. Namun, kenyataannya pemenuhan atas hak pendidikan bagi mereka beberapa kali sulit dilaksanakan. Hal ini dikarenakan belum adanya kesadaran pendidikan sebagai suatu hak, sebagai warganegara (pasal 31 UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menjamin hak atas “pendidikan dasar” (SD-SMP) bagi warga negara berusia tujuh hingga lima belas tahun. Dan juga kesadaran pendidikan sebagai suatu hak yang mendasar yang dimiliki setiap manusia yang dilahirkan, sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 26, bahwa setiap orang berhak atas pendidikan secara cuma-cuma.
Kesadaran atas pendidikan sebagai hak, yang belum muncul di kalangan masyarakat. Tidak hanya berada pada tingkat ‘majikan’ namun juga keluarga anak dan masyarakat sekitar tempat tinggal si anak. Pendidikan sebagai hak lebih dipandang sebagai suatu isu mengenai HAM yang tidak lekat dengan kehidupan masyarakat, terutama masyarakat miskin. Karena itu dalam pemenuhan hak pendidikan untuk para pekerja anak, terutama di sektor informal dan industry rumah tangga, perlu dipikirkan bentuk pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan para pekerja anak, dengan melihat persoalan sehari-hari yang mereka hadapi. Persoalan lemahnya ekonomi keluarga, sehingga memaksa anak untuk bekerja menambahi ekonomi keluarga, akan bersentuhan dengan hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 25, DUHAM), dimana kebanyakan keluarga di Indonesia memiliki penghasilan dibawah 2 dollar per hari. Dan juga bersentuhan dengan hak atas jaminan sosial dan ekonomi (Pasal 22, DUHAM), dimana seharusnya ekonomi keluarga dan sistem sosial terkecil yaitu keluarga dijamin oleh negara.
Oleh karena itu, dalam upaya pemenuhan hak pendidikan untuk para pekerja anak, dibutuhkan kerjasama antara sektor sosial dan ekonomi. Perusahaan atau institusi apapun yang mempekerjakan anak-anak, seharusnya menjamin hak ekonomi, pendidikan dan sosial sekaligus. Dan pemerintah seharusnya juga menjamin ketiganya, agar si anak-anak tidak terjebak dalam suatu pekerjaan selain pekerjaan di rumahnya, yang seringkali mengeksploitasi mereka. Kemudian peran lembaga sosial atau swadaya masyarakat, sebagai perwakilan dari masyarakat sipil, juga seharusnya menjamin ketiga hal tersebut. Mereka dapat bekerjasama dengan kedua pihak yaitu perusahaan dan pemerintah. Atau menyelenggarakan secara swadaya, unit ekonomi bagi masyarakat miskin, lembaga pendidikan yang gratis atau murah, dan menjaga keseimbangan sosial. Misalnya dengan melakukan penyadaran mengenai jaminan hak ekonomi, sosial dan pendidikan di masyarakat. Tanpa langkah nyata, pendidikan sebagai hak kemudian hanya menjadi impian semata, terutama bagi pemenuhan Hak Anak. (html: 9)
            Kemudian tindakan pemerintah yang lainnya adalah peningkatan program pendidikan gratis sebagai salah satu upaya yang harus dilakukan guna mengurangi jumlah pekerja anak dibawah umur."Kami menilai anak-anak tersebut terpaksa harus bekerja karena miskin dan tidak sekolah," kata Menakertrans Muhaimin Iskandar di Lokakarya Nasional Meninjau Status Saat ini dan Perencanaan Penghapusan Pekerja Anak di Masa Depan di Jakarta, akhir pekan lalu. Hal ini dapat dilakukan bersama-sama dengan pemerintah maupun non pemerintah," ujarnya.Survei nasional tentang pekerja anak yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) di Indonesia yang juga menggandeng International Labour Organization (ILO) pada bulan Agustus 2009, menyebutkan bahwa ada 4 juta anak usia 5-17 tahun yang secara ekonomi aktif.
            Dibawah ini ada beberapa kebijakan publik di kalangan pemerintah daerah tentang fenomena pekerja anak di bawah umur.
Kebijakan Publik di Jakarta
Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, pernah pula menggunakan pendekatan law enforcement untuk menertibkan pekerja anak di sektor informal, terutama anak-anak jalanan, dengan berpegang pada Perda nomor 11 tahun 1988 tentang ketertiban umum di wilayah Jakarta, dan keputusan gubernur KDKI Jakarta No. 1738 tahun 1993 tentang pembentukan Tim Satuan Tugas Pembinaan dan Pengendalian Pedagang Asongan di wilayah Jakarta, dan keputusan gubernur No. 238 tahun 1988 tentang Pelaksanaan Operasi Penertiban dan Pembinaan terhadap Gelandangan, Pengemis, Pedagang Asongan, dan Pengamen Bis Kota. Hasilnya, hingga detik ini Pemda DKI tidak juga mampu menghapuskan pekerja anak pada kategori tersebut. Bahkan, pendekatan law enforcement tersebut justru hanya mempersulit dan merugikan pekerja anak itu sendiri. Sebab dengan pemberlakuan peraturan tersebut, otomatis kegiatan pekerja anak-anak ini menjadi ilegal sehingga dimana-mana terjadi pengusiran dan penyitaan barang.
Pengalaman negara Bangladesh memberikan contoh betapa tujuan mulia sebuah hukum tidak selalu berdampak positif bagi pekerja anak-anak. Rancangan Undang- Undang Harkin yang diperkenalkan ke Kongres Amerika pada tahun 1972 dengan tujuan melarang impor barang-barang yang diproduksi anak-anak berusia dibawah 15 tahun, dan diberlakukan sejak September 1996, menyebabkan industri pakaian di Bangladesh kalang kabut yang mana enam puluh persen dari produknya yang bernilai 900 juta dolar AS diekspor ke Amerika Serikat. Untuk melindungi produksi, maka pekerja anak-anak yang kebanyakan perempuan segera dipecat dari pabrik-pabrik pakaian jadi. Suatu studi yang disponsori oleh organisasi-organisasi internasional, akhirnya menemukan bahwa beberapa anak dipecat, bekerja di tempat-tempat yang lebih membahayakan. Seperti di bengkel-bengkel yang tidak aman dimana merena dibayar rendah, atau di tempat-tempat pelacuran (Bellamy, 1997). (html: 18)

Kebijakan Publik di Papua
Provincial Programme ILO untuk Papua dan Papua Barat, Education and Skills Training for Youth Employment (EAST) Project, Hirania Wiryasti, kepada JUBI pada acara Lokakarya Penghapusan Pekerja Anak di Kabupaten Jayapura mengatakan, berdasarkan data Kementrian Sosial tahun 2008, Provinsi Papua  memiliki jumlah pekerja anak yang sangat tinggi.
Dia  menjelaskan, banyak motif sehingga seorang anak bergelut dengan dunia pekerjaan. “Anak bekerja adalah kebiasan dalam suatu rumah tangga yang bisa dimaklumi dengan batasan tertentu, misalnya  membantu bekerja orang tua di rumah, asalkan jangan menjadi tulang punggung untuk mencari nafkah. itu namanya eksploitasi terhadap hak anak, yang mengakibatkan seorang anak tidak mampu mendapatkan haknya,” kata Hirania. Dia mengatakan, pekerjaan ada karena terhipit ekonomi keluarga.  Anak yang seharusnya sekolah terpaksa menjadi pemulung, penjual koran, petugas parkir liar, pemilah sampah, buruh tani dan perkebunan,  pembantu rumah tangga, pelayan toko dan restoran, pendorong gerobak di pelabuhan dan pasar, penjual platik di pasar, kuli angkut,  nelayan, buruh bangunan maupun sebagai penjual sayuran
”Untuk penghapusan pekerja anak, kita akan melakukan monitoring dan melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah (Pemda)   guna memperluas akses pendidikan  bagi anak untuk mendapat haknya,” ujarnya.
“Memakai  jasa anak anak kecil sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh negara-negara kaya sebagai pelanggaran hak asasi anak. “Dasar hukum bagi pekerja anak jelas sudah ada, oleh karena itu jelas  ada sanksi bagi pihak yang mempekerjakan seorang anak sebagai pekerja,” ujarnya
Bagi kalangan aktivis anak di dunia, Hari Buruh sedunia selalu menyuarakan agar stop mempekerjakan anak. Mereka menyerukan   agar  pemerintah menanggulangi kemiskinan, strategi perencanaan pendidikan, serta membangun komitmen politik plus peran serta masyarakat luas untuk mengatasi pekerja anak.
Sejak konvensi ILO Nomor 182 tentang bentuk terburuk  pekerja anak  telah dirativikasi oleh lebih dari 90 persen dari 182 negara-negara angota ILO, dan jutaan pekerja anak telah merasakan tujuan konvensi untuk menentang praktek keterlibatan anak dalam pornograafi, rekruitmen paksa, ataupun wajib dalam konflik bersenjata dan segala bentuk pekerja anak yang mungkin bisa membahayakan kesehatan, keselamatan, dan moral anak-anak.
Akibat dari adanya pekerja anak membuat suatu ligkaran kemiskinan yang yang terus berlanjut serta menghalagi keluarga maupun bangsa untuk meraih potensi maksimal.
Pemerintah sekarang ini melakukan suatu strategi terhadap perlindungan sosial yang membantu keluarga miskin yang dikenal di Indonesia dengan sebutan program ‘keluarga harapan’. Selain itu untuk menghindari perkembangan pekerja anak, perlu membangun komitmen politik masyarakat luas untuk mengatasi pekerja anak. Baik pengusaha dan organisasi pekerja telah menjadi penyokong aktif penerapan konvens ILO dan jika ingin meningkatkan kepedulian nasional terhadap pekerja anak maka perusahaan dan organisasi pekerja harus terlibat, selain pemerintah, mitra sosial juga menjadi penyokong yang paling terorganisir dan paling efektif untuk melakukan aksi ini. Organisasi masyarakat lokal sangat diharapkan ikut berperan dalam komunitas dimana isu pekerja anak ada.
Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah  pengeksploitasian  anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan. Di beberapa negara, hal ini dianggap tidak baik bila seorang anak di bawah umur tertentu, tidak termasuk pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan sekolah. Seorang ‘bos’ dilarang untuk mempekerjakan anak di bawah umur, namun sangat tergantung dari peraturan negara tersebut.
Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah, hal tersebut tetap merupakan sesuatu  yang tidak diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kadisnakertrans) Kabupaten Jayapura, Helena CH.Holle, mengatakan, anak adalah pilar pembangunan bangsa. Sayangnya, kata dia,  dalam kehidupan sehari-hari, anak justru menjadi tulang punggung keluarga. Kondisi yang membahayakan tumbuh kembang anak.
“Berdasarkan pengamatan dan data yang kami dapat dari setiap perusahaan, sejauh ini belum ditemukan ada pekerja anak,” ujarnya.
Di Kabupaten Jayapura telah akan dibentuk Komisi Aksi Penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerja Anak. ”Langkah ini dilakukan sesuai  dengan surat keputusan dari Bupati Kabupaten Jayapura terhadap respons Permendagri nomor 6 tahun 2009,” ujarnya.
Data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, per Maret 2009 menyebutkan, Kabupaten Jayapura memiliki jumlah penduduk sebanyak 134.013 jiwa. Terdiri dari anak usia sekolah mencapai 44.761 orang. Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat per Maret 2009, sekitar 4 juta anak Indonesia usia 5 hingga 17 tahun merupakan pelaku ekonomi yang aktif dan 1,7 juta anak termasuk dalam kategori pekerja anak.
Dengan adanya Komisi Aksi Pengahapusan Pekerja Anak di Kabupaten Jayapura akan dimaksimalkan untuk mendata seberapa anak yang tidak mampu mendapat pendidikan dengan berbagai alasan dari keluarga, dan bukan hanya pada tingkat kategori Pekerja Anak.Namun demikian Pemerintah tidak akan bisa menjalankan tugasnya tanpa ada peran serta masyarakat untuk mewujudkannya karena itu semua pihak berperan agar pekerja anak dapat hapuskan di Kabupaten Jayapura.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Jayapura, P. Kakihary menyebutkan , puluhan anak di bawah umur di Jayapura bekerja keras untuk mencari nafkah. Mereka banyak dijumpai di emperan toko  dan di ruas jalan raya di kota Jayapura. ”Kami sering temukan mereka di pinggir jalan raya membawa karung, ada juga yang menjual pinang di pinggir jalan. Mereka kebanyakan anak-anak,” katanya Kondisi itu terjadi karena minimnya perhatian dari orang tua dan akibat  masalah ekonomi keluarga. Banyak orang tua yang tidak mampu terpaksa anaknya harus putus sekolah dan memilih bekerja mencari uang. ”Terkadang  mereka tidak masuk sekolah demi mendapatkan uang. Ini tidak boleh terjadi pada mereka,” tegasnya.
Berdasarkan hasil  studi tentang pekerja anak yang dilakukan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) di lima wilayah Indonesia, yakni Sulawesi Selatan , Nusa Tenggara Timur , Maluku, Papua, dan Papua Barat menunjukkan anak-anak usia 9-15 tahun terlibat berbagai jenis pekerjaan yang berakibat buruk terhadap kesehatan fisik, mental,maupun seksual. Anak-anak ini juga kurang mendapat akses pendidikan bahkan terpaksa drop out (DO) dari bangku sekolah.
“Awalnya, pekerja anak tersebut hanya untuk membantu perekonomian orang tua, tetapi  banyak yang terjebak sebagai pekerja permanen. Mereka akhirnya menikmati hasil pendapatan dan berakibat anak lebih sering bolos sekolah dan kemudian DO,’’
Krisis ekonomi berkepanjangan juga disebutnya membuat orang tua mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan untuk bersekolah. Akibatnya, lebih banyak anak perempuan tidak bersekolah, buta huruf, atau DO di pendidikan dasar. Selanjutnya, mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga, buruh tani dan kebun, buruh serabutan, serta ada yang terlibat prostitusi.

D.   RENCANA TINDAKAN
Adapun langkah yang akan kami ambil untuk merealisasikan isi dari portofolio ini yaitu :
·      Mendirikan pendidikan gratis informal, dimana mereka dibekali ilmu dan dilatih keterampilan.
·      Bimbingan, dimana kita dapat bersama-sama belajar agama dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
·      Melakukan observasi ke rumah tinggal mereka, sehingga kami sebagai penyusun portofolio mengetahui realita kehidupan para pekerja bawah umur di lapangan.
·      Memberikan dorongan moral kepada anak tersebut melalui pendekatan personal.
DAFTAR PUSTAKA

Ganeswara, Ganjar M, dkk.2007. PendidikanKewarganegaraan. Bandung: UPI PRESS
Sapriya, Dr. dkk. 2009. PembelajaranKewarganegaraan. Bandung: UPI PRESS
Gustavharefa.2010.Pendidikan Adalah Hak Anak (Refleksi).Emerge Infect Dis [serial online] 2010 Mar; 1 (1); [1 screen].Available from:«Gustavharefa'sBlog.html.accessed November 2.2010
noname. 2010.pelanggaranhakanak.Emerge Infect Dis [serial online] 2010 Apr; 1 (1); [1 screen]. Available from: http://www.ilo.org/public/english/region/asro/jakarta/download/publications/childlabour/200603prtaid.pdf.html.accessed November 2.2010
noname. 2010. PekerjakanAnak di bawahumur.Emerge Infect Dis [serial online] 2010 Jan; 1 (1); [1 screen]. Available from:http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0401/14/humaniora/802345.html.accessed November 2.2010.
noname. 2010. DampakSosialMepekerjakanAnak. Emerge Infect Dis [serial online] 2010 Feb; 1 (1); [1 screen]. Available from:http://www.lbh-apik.or.id/fact-62%20PRTA.html.accessed November 2.2010
Kompas.2010.Maraknya mempekerjakanAnak di bawahumur.Emerge Infect Dis [serial online] 2010 Juni; 1 (1); [1 screen]. Available from: http://www2.kompas.com/metro/news/0602/25/092923.html.accessed November 2. 2010






LAMPIRAN
1.      PROPONEN
Artikel 1
Fenomena Pekerja Anak dan Anak Jalanan
Last Updated on Sunday, 01 November 2009 16:56 Written by Administrator Tuesday, 16 June 2009 11:21

A. Zaenudin Al-Hanif (Pengamat Sosial & Kemasyarakatan, tinggal di Ciputat)
Refleksi Menyambut Hari Anak Nasional 23 Juli 2009        

Penetapan pemerintah tentang Hari Anak Nasional yang diperingati setiap 23 Juli menunjukkan betapa besarnya perhatian dan kepedulian pemerintah terhadap kesejah¬teraan anak sebagai aset pembangunan dan generasi penerus bangsa. Selain itu, hari anak juga merupakan salah satu upaya untuk menumbuh kembangkan kesadaran, motivasi tekad dan semangat segenap lapisan masyarakat, khususnya para orang tua dan keluarga terhadap pentingnya hak-hak perlindungan, pertumbuhan dan pendidikan anak-anak.          

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada 1990 dengan Keppres No.39/1990. Keberhasilan yang sangat siginifikan dalam perundang-undangan nasional adalah ditetapkannya UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. UU ini telah mengintegrasikan seluruh prinsip-prinsip yang ada dalam Konvensi Hak Anak. Selain itu, UU lain yang berkaitan dengan hak-hak anak telah pula ditetapkan, seperti UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Ketenagakerjaan dan UU dalam meratifikasi Konvensi ILO tentang Bentuk Terburuk Tenaga Kerja Anak.


PENINGKATAN KUALITAS ANAK INDONESIA       
Pada tingkatan operasional, berbagai perencanaan program nasional telah dicanangkan antara lain penghapusan bentuk-bentuk terburuk pekerja anak, penghapusan perdagangan perempuan dan anak, penghapusan eksploitasi seksual komersial pada anak, penanganan terhadap anak jalanan. Namun berbagai peraturan perundang-undangan yang ada terhadap anak itu belum dapat memberikan jaminan bagi peningkatan kualitas anak Indonesia. Banyaknya faktor yang menghambat implementasi peraturan perundang-undangan di lapangan menunjukkan bahwa masalah pembinaan kualiatas anak merupakan masalah yang kompleks.  Faktor yang menghambat pengimplementasian ketentuan tersebut dapat bersifat internal maupun eksternal. Untuk dapat mengentaskan anak-anak dari kondisi demikian, yang perlu dilakukan pertama-tama adalah: kenali masalah yang terdapat di dalam lingkungan terdekat anak, yaitu keluarga.
Fungsi perlindungan atau proteksi kepada anak merupakan salah satu fungsi yang penting karena dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa aman dan kehangatan dalam keluarga. Bila fungsi ini dapat dikembangkan dengan baik, keluarga akan menjadi tempat perlindungan yang aman secara lahiriah dan batin bagi seluruh anggotanya. Namun, selain fungsi perlindungan keluarga juga memiliki fungsi ekonomi. Fungsi itu menjadi pendukung kemampuan kemandirian keluarga dan anggotanya dalam batas-batas ekonomi masyarakat, bangsa, dan negara dimana keluarga itu hidup. Apabila dikembangkan dengan baik fungsi ini dapat memberikan kepada setiap keluarga kemampuan untuk mandiri dalam bidang ekonominya, sehingga mereka dapat memilih bentuk dan arahan sesuai kesanggupannya.
Dengan berkembangnya waktu, fenomena pekerja anak banyak berkaitan erat dengan dengan alasan ekonomi keluarga (kemiskinan) dan kesempatan memperoleh pendidikan. Pendapatan orangtua yang sedikit tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehingga memaksa mereka untuk bekerja. Di lain pihak, biaya pendidikan di Indonesia yang masih tinggi telah pula ikut memperkecil kesempatan untuk mengikuti pendidikan.          
FENOMENA PEKERJA ANAK DAN ANAK JALANAN          
Perbenturan kepentingan antara kedua fungsi inilah yang kadang menimbulkan dilema bagi keluarga yang kehidupan ekonominya kurang membahagiakan. Di satu sisi, keluarga harus mampu memberikan perlindungan kepada anggotanya, termasuk anak-anak. Namun di sisi lain, adanya fungsi ekonomi juga telah menuntut para anggotanya untuk ikut memberikan sumbangan agar kebutuhan hidup keluarga dapat terpenuhi, yaitu dengan bekerja. Karena itu tidak heran jika kemudian muncul fenomena pekerja anak.       
Fenomena pekerja anak di Indonesia pada awalnya banyak berkaitan dengan tradisi atau budaya membantu orangtua, yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia pada umunya. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengapa anak dilatih untuk bekerja. Pertama, sebagian orangtua masih beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak-anak merupakan upaya proses pembelajaran agar anak mengerti arti tanggung jawab. Kedua, tindakan itu juga dapat melatih dan memperkenalkan anak kepada dunia kerja. Ketiga, untuk membantu meringankan beban kerja keluarganya.          
Bahkan lebih parah lagi, saat ini fenomena pekerja anak masih ditambah dengan munculnya fenomena anak jalanan di kota-kota besar, yang makin menambah kompleksnya permasalahan. Jika kita menyusuri jalan-jalan di sekitar Jakarta, dengan mudah kita akan mendapatkan anak-anak usia sekolah yang mengamen atau sekedar meminta-minta di lampu merah. Tidak jarang pula kita menemukan mereka di dalam bis-bis kota. Mereka kemudian dikenal dengan sebutan ‘anak jalanan’. Entah sebutan itu cocok atau tidak untuk mereka. Sebagaimana anak-anak lain, anak jalanan juga menginginkan hidup normal. Mereka anak kita juga yang membutuhkan tempat untuk tinggal, rasa aman, nyaman, dan ingin diterima oleh masyarakat.
Fenomena anak jalanan merupakan ekses lingkaran setan kemiskinan bangsa Indonesia. Kendala yang dihadapi mobilitas anak-anak itu cukup tinggi. Anak-anak yang dibimbing di rumah singgah, setelah keluar, "kadang" kembali menjadi anak-anak jalanan. Sebab, kebutuhan ekonomi tidak terelakkan. Sayangnya, perhatian kepada anak-anak terkesan digelar pada momen-momen tertentu saja.  
Mereka yang hidup di jalanan sebagai, pengamen, pedagang asongan, pengemis, dan pelacur. Paru-paru mereka tidak hanya menghirup kerasnya udara yang mengandung timbal dan karbon monoksida tapi juga menghisap asap kekerasan purba langsung dari akarnya. Secara, struktural negara bisa disalahkan sebagai penyebab buruknya kondisi anak-anak di negeri ini. Karena negara sebagai pemegang kekuasaan membuat kebijakan yang sering tak berpihak pada masyarakat bawah. Kebijakan itu menyebabkan orang miskin yang makin terbelenggu dan tidak berdaya. Kemiskinan menjadi satu faktor pemicu terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada anak. Anak dalam keluarga miskin mengalami subordinasi ganda, yaitu ada supremasi dari yang kaya dan orang dewasa. Hak anak bisa dilanggar karena dia anak-anak dan miskin.
Menyalahkan negara sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab tak secara otomatis membawa kehidupan anak menjadi lebih baik. Kita semua, tanpa disadari, telah menjadi orang dewasa, para ”orang tua” yang merangkap sebagai eksekutor bagi anak-anak kita sendiri. Algojo yang menghukum anak secara tidak proporsional. Hukuman yang menghabiskan seluruh energi kehidupan dan masa depan anak-anak dalam bayang-bayang trauma jalanan, dan debu peperangan. Kita menjadi orang tua yang mengambil terlampau banyak dari kehidupan anak kita.
Dalam kondisi seperti inilah peringatan hari anak nasional kemudian menjadi sangat penting. Indonesia sebagai salah satu Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, maka Negara berkewajiban untuk mengakui dan memenuhi hak dan kebutuhan anak Indonesia, ketika orang tua tidak sanggup lagi melakukannya. Atau ketika anak-anak berada dalam kondisi yang sangat rentan bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Melalui Hari Anak Nasional, kita diingatkan pada kewajiban Negara untuk melakukan tugasnya. Lebih mendasar lagi, Negara diingatkan kembali untuk terus menerus melihat kondisi anak Indonesia yang semakin terpuruk. Tidak hanya itu, melalui peringatan hari anak nasional ini masyarakat diajak untuk ikut mengambil peran dalam meminimalkan kondisi-kondisi yang dapat memperburuk kehidupan anak-anak Indonesia. Seluruh masyarakat, termasuk kita!!! (www.mujahidin.net)
           

Artikel 2
EKONOMI JADI FAKTOR EKSPLOITASI ANAK
11:25, 30/10/2010
NGAMEN: Dua anak sedang ngamen di persimpangan Jalan AR Hakim Pajak Aksara Medan beberapa waktu lalu.//File/Sumut Pos
MEDAN- Rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan seseorang menjadi faktor utama tingginya eksploitasi anak. Belum lagi implentasikanya UU nomor 23 tahun 2002 yang tidak diterapkan dengan maksimal. Koordonator Divisi Litigasi Yayasan Pusaka Indonesia Elisabeth mengatakan, faktor eknomi menjadi penyebab utama banyak terjadi tindak kekerasan terhadap anak di bawah umur.
“Masyarakat kita memang rentan terhadap eksploitasi anak, hal ini banyak disebabkan karena rendahnya tingkat ekonomi masyarakat,” katanya kemarin di kantor Yayasan Pusaka Indonesia Jalan Setia Budi Medan. Elisabeth menuturkan bentuk-bentuk eksploitasi anak juga bermacam-macam semisal penjualan anak, pekerja anak, pelacuran anak di bawah umur dan lain sebagainya yang melanggar hak-hak anak.
Menurut Elisabeth UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak tidak terimplementasi dengan maksimal khususnya yang terjadi pada pekerja anak karena faktor ekonomi keluarga menyebabkan si anak harus bekerja dengan alasan membantu ekonomi orangtua. “Di perusahaan perkebunan banyak terdapat pekerja anak di bawah umur, terlebih mereka yang orangtuanya berstatus buruh harian lepas (BHL), namun ini sulit ditindak karena keluarga melumrahkan hal tersebut,” tambahnya. Namun tidak ada angka yang pasti tentang peningkatan eksploitasi anak tersebut, namun dari informasi yang ada terjadi peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. “Untuk tahun ini saja ada 30 kasus yang terinvestigasi  khusus kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Mungkin banyak lagi yang tidak terekspos,” kata Elisabeth.
Hal senada juga ditegaskan Edy Sunarwan, Project Officer ILO IPEC wilayah Sumut. Dia menambahkan tingkat pendidikan dan terkikisnya kepedulian sosial menyebabkan tingginya tingkat kekerasan terhadap anak. “Saya tidak bilang kalau pendidikan itu mahal, namun kenyataannya masih banyak pengutipan, ini akan memberatkan ekonomi juga, ditambah lagi dengan rendahnya kepedulian sosial terhadap sesama, ini juga ikut memicunya,” katanya.
Edy menambahkan, suasana sekolah juga menjadi penentu anak-anak suka sekolah atau tidak. Sebab banyak sekolah yang menurut anak-anak tidak menarik dan memunculkan kebosanan.
                       
Artikel 3
PEKERJA ANAK BANTU EKONOMI KELUARGA
Era Baru News           
Sabtu, 24 Juli 2010
Lebak - Banyak anak-anak di bawah umur di Kabupaten Lebak, Banten, bekerja di jalanan untuk membantu ekonomi keluarga, dimana pemicunya adalah kemiskinan orang tua. Sebagian bahkan merasa terpaksa karena dieksploitas orang tua, bekerja untuk membantu ekonomi keluarga, padahal mereka usia sekolah dasar. "Setiap hari terlihat anak-anak turun ke jalanan untuk mencari nafkah seperti di pasar, stasiun kereta api (KA), terminal bus dan sejumlah tempat lainnya," kata pemerhati sosial, Musa Weliansyah, di Rangkasbitung, Jumat (24/07).
Mereka bekerja sebagai pengamen, tukang semir, pembantu rumah tangga, pedagang, tukang sapu dalam gerbong kereta api, pemulung, pengemis, dan pencuci kendaraan. Selain itu, juga banyak anak-anak di pedalaman Kabupaten Lebak menjadi pengembala ternak kerbau atau di ladang. "Kami merasa prihatin dengan banyak anak-anak bekerja untuk mencari nafkah keluarga itu," katanya. Dia juga mengatakan, pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran melalui APBD untuk membiayai kegiatan penanganan anak jalanan. Selama ini, kata dia, anggaran untuk penanganan anak jalanan tidak ada.
Dia menjelaskan, anak jalanan merupakan masalah sosial yang harus segera ditangani karena akan menimbulkan masalah sosial lainnya di tengah masyarakat, misalnya keterlibatan mereka dalam tindak kriminal. Jika mereka tidak ditangani secara komprehensif pasti akan menimbulkan masalah sosial di lingkungan masyarakat, katanya. Dia menyebutkan, Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat bahwa pada tahun 2004 lalu di Indonesia terdapat 1,4 juta anak berusia 10-14 tahun yang menjadi pekerja untuk membantu ekonomi keluarga.
Sebagian besar dari mereka tidak mendapat peluang untuk bersekolah sehingga masa depan mereka pun kian suram. "Kami berharap pemerintah daerah segera turun tangan untuk menangani anak-anak agar mereka tidak bekerja di jalanan," katanya. Armin (11) seorang pemulung warga Rangkasbitung Timur Kabupaten Lebak, mengaku dirinya terpaksa berhenti sekolah dasar kelas 3 karena orangtua tak mampu membiayai pendidikan. Apalagi, orangtuanya sudah lama menganggur dan sering sakit-sakitan. "Selama ini keluarga bisa makan dari hasil memulung plastik dan barang-barang rongsokan itu," katanya.
Armin mengaku dirinya dan kakaknya Yanto (14) yang sama-sama pemulung setiap hari mendapatkan uang antara Rp15-20 ribu dan sisanya diberikan kepada orangtua untuk beli beras dan lauk pauk. "Kami setiap hari dengan kakak harus bekerja jika tidak bekerja tentu dimarahi orangtua," katanya. Sementara itu, Hendra (13) seorang pengembala kerbau di Kecamatan Leuwidamar Kabupaaten Lebak mengaku dirinya kini sudah tidak sekolah lagi karena orangtua melarang bersekolah. "Kami berhenti sekolah saat duduk di bangku madrasah ibtidaiyah atau setara sekolah dasar," katanya.(ant/waa)
Artikel 4
PEKERJA ANAK DI CIANJUR MENINGKAT
20 May 2010
Cianjur, Pelita
Dalam dua tahun terakhir angka pekerja anak di wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (Jabar), meningkat drastis. Berdasarkan survey yang pernah dilakukan International Labour Organization (ILO) Persatuan Bangsa-Bangsa (ILO) melalui Yayasan GPNA Cianjur di dua kecamatan masing-masing Kecamatan Cipanas dan Sukaluyu mencapai sebanyak 500 orang.
Direktur GPNA-ILO Cianjur Asep Mirda Yusuf, mengemukakan kepada PeUta, Rabu (19/5), berkeyakinan pekerja anak yang belum terdeteksi masih banyak lagi, bahkan bisa mencapai ribuan orang. Padahal mempekerjakan anak bertentangan dengan aturan, salah satunya hukum dan konvensi PBB yang telah diratifikasi, seperti konvensi No. 138 tahun 1973, mengenai usia minimum dan konvensi No. 182, tentang Larangan dan Tindakan Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Pemerintah sendiri sudah punya enam perangkat hukum terkait hal itu, salahsatunya undang-undang perlindungan anak. Arti dari pekerja anak itu sendiri, anak yang berusia 1 s/d 14 tahun yang sudah bekerja di berbagai sektor, baik sektor formal maupun non formal.Namun kebanyakan dari mereka bekerja di sektor non formal, seperti pengamen jalanan, kuli angkut barang di pasar, buruh pabrik, pedagang asongan, juga di sektor jasa, seperti kuli bangunan, pembantu rumah tangga, dan buruh migran.
Dikemuakan Asep, praktik pekerja anak di wilayah Kabupaten Cianjur tersebar di berbagai tempat, baik wilayah perkotaan maupun pelosok, kendati keduanya terdapat perbedaan pola. "Kalau di wilayah perkotaan, anak-anak yang bekerja itu tidak jauh dari lingkungan tempat tinggalnya, namun kalau di pelosok, kebanyakan menjadi buruh migran, seperti menjadi pembantu rumah tangga di ibukota bahkan jadi TKW." paparnya.
Asep menilai, menggejalanya fenomena pekerja anak di wilayah Kabupaten Cianjur, selain faktor kemiskinan, juga disebabkan minimnya sosialisasi perangkat hukum yang mengatur hal tersebut oleh pemerintah setempat. Akibatnya, konsep-konsep tentang pekerja anak belum sampai ke telinga masyarakat, sehingga banyak dari mereka yang tidak memahaminya."Sampai hari ini saya belum pernah mendengar apalagi melihat ada sosialisasi khusus tentang penghapusan pekerja anak ke masyarakat maupun ke sekolah-sekolah. Padahal pemerintah memiliki kewajiban mengikat atas hal itu (sosialisasi-id)," tutur Asep.
Jika hal tersebut dibiarkan akan berdampak buruk bagi generasi penerus di Cianjur. Secara psikologis, dunia anak adalah dunia bermain, jadi jangan dibebani oleh kewajiban untuk mencari nafkah yang seharusnya menjadi tanggungjawab mutlak orang tua."Fenomena pekerja anak ini, apabila dibiarkan akan bergeser pada eksploitasi seksual terhadap anak, dan hal itu sudah terjadi," ujar Asep seraya mengakui, pihaknya menemukan kasus seorang siswi lulusan SMP di Kecamatan Sukaluyu yang sudah di-persiapkan orangtuanya untuk menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) ke luar negeri.
Selain itu, banyaknya anak sekolah yang menjadi pekerja anak di wilayah Kabupaten Cianjur disayangkan Kepala Dinas P dan K setempat, DR Sae-iul Millah, karena kondisi tersebut akan menggangu Program Wajar Dikdas (Wajib Belajar Pendidikan Dasar) 9 tahun."Anak-anak yang masih potensial tersebut seharusnya mengisi waktu dengan belajar, bermain dan bergembira, serta memperoleh pendidikan yang memadai, baik pendidikan formal maupun informal," ujar Saeful, Selasa (18/5).
Saeful mengharapkan seluruh anak sekolah di Kabupaten Cianjur, tidak menjadi pekerja anak, dan mengimbau masyarakat khususnya para orang tua yang mempekerjakan anak-anaknya agar segera menghentikan aktivitasnya.Ketika ditanya terkait kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap perangkat hukum atas pekerja anak tersebut. Saeful enggan berkomentar. "Intinya, fenomena pekerja anak ini semata karena faktor kemiskinan, sehingga mendorong sebagian orang tua untuk menyuruh anak-anaknya bekerja," ujarnya, (ck-54/man)

2.      OPONEN
Artikel 1        
PRT ABG Disiksa Majikan Sabtu, 25 Februari 2006
Bogor, Warta Kota    
Seorang pembantu rumah tangga (PRT), Ratna Maryati (13), melarikan diri dari rumah majikannya di Kampung Ciheuleut RT 06/08, Baranangsiang, Bogor Timur, setelah disiksa di kamar mandi. Anak baru gede (ABG) itu kemudian diselamatkan para tetangga, sedangkan majikannya, Rosyati alias Iyet ditangkap polisi, Jumat (24/2). Penyiksaan yang dilakukan Iyet terhadap Ratna, kemarin, adalah untuk kesekian kalinya.Selama 7 bulan bekerja, sudah tak terhitung lagi siksaan yang diterima Ratna.Perempuan bertubuh mungil itu pernah dipukuli dengan wajan, dihajar dengan gayung, hingga disundut rokok.
Penyiksaan terakhir terjadi kemarin.Ketika itu, ada seseorang yang ingin membeli es batu, lalu dia mengambilkannya di lemari es.Karena kesulitan mengambil, Ratna berupaya dengan mencongkelnya menggunakan obeng.Ternyata upaya itu mengakibatkan goresan di bagian pendingin lemari es. Mengetahui hal itu, Iyet murka. Saat itu juga sang majikan menyeret Ratna ke kamar mandi. Di sana ia menghantam kepala Ratna dengan gayung berkali-kali. Belum puas melampiaskan emosinya, Iyet lalu menyiram tubuh gadis ABG tersebut dengan air bak mandi.Tak hanya itu.Ratna juga didorong hingga jatuh terlungkup di kloset duduk.Tanpa ampun, kepala Ratna dibenamkan ke lubang kloset sambil dipukuli tubuhnya.
Setelah puas, Iyet meninggalkan Ratna di kamar mandi.Ia membiarkan pembantunya menangis meraung-meraung sambil menahan sakit. Saat sang majikan naik ke lantai dua rumahnya, Ratna pun kabur dan melaporkannya ke warga Kampung Ciheuleut. Warga yang mendengar cerita Ratna menjadi gusar dan berencana untuk mengepung serta merusak rumah Iyet yang juga membuka usaha fotokopi.Tetapi niat itu dibatalkan.Warga lalu menyembunyikan Ratna di sebuah warung sambil membuat strategi untuk menangkap Iyet. Seorang tetangga Iyet yaitu Suciwati melaporkan peristiwa tragis itu ke Mapolsekta Bogor Timur, Jalan Pajajaran.Tidak lama kemudian polisi datang ke lokasi dan menangkap Iyet.Bersama Ratna, ia dibawa ke Mapolresta Bogor, Jalan Kedunghalang, Bogor Utara. 

 

Artikel 2

Menakertrans: Pekerja Anak di Bawah Umur Makin Meningkat

Hukuman Berat berupa sanksi 4 tahun penjara akan diberikan kepada perusahan yang mempekerjakan anak-anak di bawah usia 18 tahun. Hal tersebut dikatakan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, usai membuka Seminar Regional Penghapusan Pekerja Anak, di Hotel Arya Duta, Jakarta, Rabu (12/7).
"Penegakan hukum sudah jelas diatur, hukuman 4 tahun akan diberikan jika pelanggarannya berat," jelasnya.
Menurutnya, saat ini sejumlah 4 juta anak Indonesia bekerja pada sektor pertanian didesa-desa, jumlah itu lebih banyak dibanding Data Badan Pusat Statistik akhir 2004 lalu di mana total anak usia 10-17 tahun yang bekerja di sembilan sektor berjumlah lebih dari 2,8 juta orang.
Lebih lanjut Erman menegaskan, gerakan nasional penanggulangan pekerja anak pada bentuk-bentuk terburuk, belum secara optimal dilakukan oleh pemerintah daerah, mengingat masih banyaknya perusahaan industri didaerah yang masih menggunakan tenaga kerja anak di bawah umur. Oleh karena itu pemerintah pusat akan langsung melakukan sosialisasi ke tingkat desa, kecamatan dan kabupaten.
"Harus ada kontribusi dari pemerintah daerah, karena justru pekerja anak masih banyak didesa-desa, ini akan menjadi fokus Depnakertrans," tegasnya.
Mengenai anak-anak jalanan yang di bawah umur, ia menambahkan, pihaknya akan melakukan kordinasi lintas departemen dengan Departemen Sosial dan Departemen Pendidikan Nasional, untuk menekan pertambahan jumlah anak jalanan. (novel)



Artikel 3
Di NTT Ada 1.335 Anak Di Bawah Umur Pekerja Seks Anak
Sebanyak seribu 335 anak di bawah umur di provinsi nusa tenggara timur dikategorikan sebagai pekerja seks anak dengan rincian/ anak laki-laki 15 ribu 333 anak dan perempuan sebanyak 7 ribu 770 anak.
Ketua lembaga perlindungan anak (lpa) ntt mien paty noach kepada wartawan, sabtu (05/06) di kupang mengatakan/ data tersebut didapat dari hasil survey beberapa waktu lalu.
Menurut mien, pemerintah telah bekerjasama dengan sebuah lembaga internasional yaitu international labour organization (ilo) untuk membuat program penghapusan kerja-kerja terburuk untuk anak, termasuk perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak anak, diantaranya hak untuk memperoleh pendidikan dan bermain. Mien mengungkapkan, berdasarkan data yang dihimpun hingga mei 2010, jumlah anak terlantar di ntt sebanyak 13 ribu 369 anak. Gelandangan 195 ribu anak dan sebagai pekerja seks sebanyak seribu 335 anak. Hal ini ketika komisi viii dpr ri melakukan kunjungan kerja ke ntt desember 2009 lalu terungkap kalau di ntt terdapat seribu 300 kasus perdagangan manusia (human trafficking) dan 14 ribu 448 kasus tki ilegal dari jumlah tersebut, hanya 81 kasus yang diproses hukum. Mien menjelaskan, hal ini dilihat dari aspek pendidikan maka sebanyak 18 koma 91 persen anak tak pernah sekolah, 40,45% belum tamat sekolah dasar (sd), 39,29% tidak tamat smp dan 1,35% tamat smp. Semakin tinggi jenjang pendidikan/ persentase anak mengenyam pendidikan semakin menurun. Sehingga tugas yang harus dilakukan adalah menahan dan menyadarkan anak-anak agar tetap sekolah.
Sementara itu fausan hazan dari ilo kupang menyampaikan ada tiga komponen penting yang mempengaruhi keberadaan seorang pekerja anak yaitu pemerintah/ pengusaha dan pekerja. Untuk ntt, ilo memfokuskan program pada pengurangan angka kemiskinan serta Menjembatani dunia pendidikan dan dunia kerja. Hazan mengungkapkan, data bps tahun 2009 menunjukkan sekitar 80% penduduk ntt hanya lulus sd dan smp. Itu menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah di ntt masih sangat rendah. Harus diingat, ada hubungan cukup erat antara kemiskinan dan tingkat pendidikan.
Mengingat pekerja anak di ntt sangat banyak, sedang diupayakan agar pekerja anak dapat mengenyam pendidikan yang memadai. Ketua tim advokasi eliminasi pekerja anak teda littik menjelaskan/ anak yang melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan/ membahayakan keselamatan/ kesehatan serta tumbuh kembangnya dapat digolongkan sebagai pekerja anak. Menurut littik, dalam upaya pemenuhan hak pendidikan untuk para pekerja anak/ dibutuhkan kerja sama antara sektor sosial dan ekonomi. Perusahaan atau institusi apapun yang mempekerjakan anak-anak, seharusnya menjamin hak ekonomi, pendidikan dan sosial sekaligus. Littik menambahkan, pemerintah seharusnya juga menjamin ketiganya/ agar anak tidak terjebak dalam suatu pekerjaan selain pekerjaan di rumahnya, yang seringkali mengeksploitasi mereka.
Demikian riflan hayon reporter sahabat fm melaporkan.

Artikel 4
Sebanyak 6,5 Juta Anak Pekerja Dibawah Umur Bekerja Karena Kemiskinan
TEMPO Interaktif, Jakarta:Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Seto Mulyadi menyatakan jumlah pekerja anak terus bertambah tiap tahun. Pada 2008, diperkirakan jumlahnya telah mencapai 6,5 juta orang anak. Kebanyakan pekerja tersebut, kata Seto, lahir dari kondisi ekonomi keluarga yang miskin. “Jumlahnya naik 30-80 persen setiap tahun, bertambah seiring jumlah anak putus sekolah dan kekerasan terhadap anak yang terus meningkat,” katanya usai beraudiensi memperingati Hari Dunia Melawan Eksploitasi Anak dengan Komisi Kesehatan dan Tenaga Kerja DPR RI, di Ruang Rapat Badan Legislatif DPR, Kamis (12/6).
Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat 11 juta anak usia 7-8 tahun tidak terdaftar sekolah di 33 provinsi di Indonesia. Pada 2004 2,1 juta anak putus sekolah, kebanyakan dari mereka berada pada jenjang sekolah menengah pertama. Umur pekerja anak bervariasi mulai 7-17 tahun. “Salah satu dampak kemiskinan adalah diabaikannya hak-hak anak, yang dengan segera memunculkan pekerja anak,” kata Sekretaris Jenderal Komisi Nasional, Arist Merdeka Sirait. Ia minta pemerintah mencari jalan mengurangi jumlah pekerja anak, salah satunya dengan memunculkan lapangan kerja baru untuk orangtua/warga miskin.


Artikel 5
Pelanggaran Hak Asasi Anak di Indonesia
Hak asasi merupakan hak mendasar yang dimiliki setiap manusia semenjak dia lahir. Hak pertama yang kita miliki adalah hak untuk hidup seperti di dalam Undang Undang No. 39 tahun 1999 pasal 9 ayat (1) tentang hak asasi manusia, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf hidupnya”, ayat (2) “Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan bathin”, dan ayat (3) “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
Seiring berjalannya waktu, hak asasi manusia (HAM) mulai dilindungi oleh setiap negara. Salah satunya adalah Indonesia, hak asasi manusia (HAM) secara tegas di atur dalam Undang Undang No. 39 tahun 1999 pasal 2 tentang asas-asas dasar yang menyatakan “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.”
Meskipun di Indonesia telah di atur Undang Undang tentang HAM, masih banyak pula pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran HAM yang baru-baru ini sedang marak adalah pelanggaran hak asasi perlindungan anak. Padahal di dalamnya sudah terdapat Undang Undang yang mengatur di dalamnya, antara lain Undang Undang No. 4 tahun 1979 diatur tentang kesejahteraan anak, Undang Undang No. 23 tahun 2002 diatur tentang perlindungan anak, Undang Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 diatur tentang ratifikasi konversi hak anak.
Persoalan mungkin dapat menjadi rumit ketika seorang anak mengalami diskriminasi berlapis, yaitu seorang anak perempuan. Pertama, karena dia seorang anak dan yang kedua adalah karena dia seorang perempuan. Di kasus inilah keberadaan anak perempuan diabaikan sebagai perempuan. Ada banyak kasus tentang pelanggaran hak atas anak. Misalnya pernikahan dini, minimnya pendidikan, perdagangan anak, penganiayaan anak dan mempekerjakan anak di bawah umur. Pernikahan dini banyak terjadi di pedesaan, 46,5% perempuan menikah sebelum mencapai 18 tahun dan 21,5% menikah sebelum mencapai 16 tahun. Survey terhadap pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Doli, di Surabaya ditemukan bahwa 25% dari mereka pertama kali bekerja berumur kurang dari 18 tahun (Ruth Rosenberg, 2003).
Contoh kasus paling nyata dan paling segar adalah pernikahan yang dilakukan oleh Kyai Pujiono Cahyo Widianto atau dikenal dengan Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa (12 tahun). Di dalam pernikahan itu seharusnya melanggar Undang Undang perkawinan dan Undang Undang perlindungan anak.Kasus ini juga ikut membuat Seto Mulyadi, Ketua KOMNAS Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terjun langsung. Menurutnya perkawinan antara Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa melanggar tiga Undang Undang sekaligus. Pelanggaran pertama yang dilakukan Syekh Puji adalah terhadap Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Di dalam Undang Undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dengan anak-anak dilarang. Pelanggaran kedua, dilakukan terhadap Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang melarang persetubuhan dengan anak.
Dan yang terakhir, pelanggaran yang dilakukan terkait dengan Undang Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Setelah menikah, anak itu dipekerjakan dan itu seharusnya dilarang. Selain itu, seharusnya di umur Lutfiana Ulfa yang sekarang adalah masa untuk tumbuh dan berkembang, bersosialisasi, belajar, menikmati masa anak-anak dan bermain.(dari berbagai sumber/sir) (Redaksi/malangpost)


Artikel 6.
Polisi Tahan Pengusaha yang Mempekerjakan Anak Bawah Umur
TEMPO Interaktif, Jakarta:Markas Besar Kepolisian RI menahan pengusaha Anthoni, yang mempekerjakan anak di bawah umur. Pengusaha sarang burung walet ditahan di Markas Besar Kepolisian sejak kemarin (3/1)sore.

"Dia mempekerjakan 19 orang, 17 orang di bawah umur. Bahkan ada yang baru berusia 13 tahun," kata Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Komisaris Besar Agung Sabar Santoso di Markas Besar Kepolisian RI, Jumat (4/1).  Anthoni diduga merekrut anak di bawah umur melalui Yayasan Tiga Putra Jaya, Putri Sehati, Mekar Jaya, dan Makmur Jaya. Anak-anak tersebut dipekerjakan selama 10-14 jam per hari dengan upah Rp 350 ribu per bulan. Upah dibayarkan per tahun. Namun kenyataannya anak-anak tidak dibayar. Anthoni dijerat pasal 2 junto pasal 17 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 dan pasal 88 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. "Ancamannya 10 tahun penjara," kata Agung. Agung menjelaskan kasus ini ditangani Markas Besar Kepolisian RI setelah menerima laporan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak sekitar pekan lalu. Dari situ polisi langsung mengejar Anthoni yang kemudian ditangkap Rabu lalu di rumahnya di bilangan Cengkareng, Jakarta Barat.
Sepanjang November-Desember lalu Markas Besar Kepolisian juga mengungkap beberapa kasus penjualan perempuan ke luar negeri. Di antaranya pengiriman enam orang perempuan ke Jepang yang diungkap pada November lalu. Modusnya para perempuan itu akan dipekerjakan sebagai pegawai restoran. Kenyataannya mereka dipaksa menjadi pekerja di tempat prostitusi. Polisi menetapkan Jimmy Wijaya, warga Indonesia, sebagai tersangka. Polisi juga mengungkap pengiriman tenaga kerja ke Kurdistan. Padahal negara itu merupakan negara konflik, bukan negara penempatan tenaga kerja. Andi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka pengiriman ilegal tersebut.
Untuk pengiriman tenaga kerja ke Korea Selatan, polisi menetapkan Muhamaad Imron dan Ade Rully sebagai tersangka. Mereka mengatasnamakan PT Mitra Munara Kencana Lestari yang belakangan diketahui tidak memperoleh izin Perusahaan Jasa TKI. "Januari ini kami juga akan mengungkap pengiriman tenaga kerja ilegal lainnya," katanya

Artikel 7
Ratusan PRT di Bandung Masih di Bawah Umur
BANDUNG - Kekerasan terhadap anak juga tidak hanya berwujud dalam bentuk fisik. Di Kota Bandung, kekerasan tersebut bisa berupa mempekerjakan anak di bawah umur. Kasus terbaru yang ditemukan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar, sebanyak 349 pembantu rumah tangga (PRT) di Kecamatan Sukasari Kota Bandung, ternyata masih di bawah umur. "Ini hanya satu kecamatan saja. Di Kecamatan Sukasari, kami menemukan 349 PRT anak. Mereka rata-rata berusia di bawah 18 tahun. Paling kecil berusia 11 tahun," kata Manajer Program Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar Dianawati, saat ditemui wartawan di Sekretariat LPA Jabar Jalan Karangtinggal, Jumat (23/7/2010).
Khusus untuk anak yang berusia di bawah 15 tahun, LPA meminta majikan mengembalikan mereka. Seorang PRTA yang sudah berhasil dikembalikan ke orangtuanya adalah anak perempuan yang baru berusia 11 tahun dan tinggal di Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat. "Setelah kita berbicara dengan majikannya, anak usia 11 tahun itu akhirnya dikembalikan lagi ke rumah orangtuanya. Kita sekolahkan dia di Sekolah Dasar dengan biaya dari kita. Minimal, dia bisa sekolah sampai kelas 6 SD," kata Diana. Dia mengatakan, pemilik rumah yang mempekerjakan anak di bawah umur tersebut rata-rata dari kalangan high class. Tidak hanya satu anak, kata dia, ada pula satu keluarga yang mempekerjakan dua hingga tiga anak di bawah umur. "Yang sulit adalah saat kita berbicara dengan majikannya. Namun, beberapa di antara mereka sudah mulai mengerti mengenai larangan mempekerjakan anak di bawah umur. Kalau yang usianya di atas 15 tahun, kita usahakan mereka mendapatkan keterampilan serta jam kerja yang layak. Selain itu, mereka juga harus mendapatkan jatah libur," kata Diana. Lebih jauh Diana mengatakan, mereka rata-rata mendapatkan gaji cukup tinggi setiap bulan mulai dari Rp350 ribu sampai Rp800 ribu. Namun, kata dia, berbeda dengan di wilayah Kabupaten Bandung, gaji PRTA relatif lebih kecil. "Yang saya temukan di Sayati Kabupaten Bandung, gaji pembantu rumah tangga anak antara Rp150 ribu sampai Rp250 ribu," pungkasnya.(ram)
Artikel 8
Pekerja Anak, Dominasi Ekonomi Keluarga
            indosiar.com, Jakarta - "Selama menjadi pembantu rumah tangga, saya tidak punya hak dengan hidup saya sendiri. Gak ada yang menghargai. Ini pekerjaan yang paling hina," ujar Suwarsih, wanita asal Tegal yang mulai bekerja saat dirinya duduk dibangku SMP. Warsih kini tinggal di penampungan tenaga kerja di Cibubur, Jakarta Timur. "Kalau saya berbuat salah, majikan gak ngasih makan untuk dua hari. Saya sering diperlakukan seperti itu. Karena saya kelaparan, saya mencuri makanan dari rumah majikan. Karena itu, majikan saya memukul saya habis-habisan," ungkap Lindawati mengenai nasib jeleknya saat bekerja di Malaysia.
Wanita asal Cirebon kelahiran 16 tahun silam ini, dipulangkan kembali ke Indonesia, setelah diberangkatkan ke Malaysia 2,5 tahun lalu. Pihak PJTKI yang memberangkatkannya, terpaksa memalsukan usia yang tertera dalam KTP aslinya untuk persyaratan kerja.Buruh anak, demikian yang lazim sebutan mereka. Tidak ada yang sempat menikmati keindahan masa kanak-kanak, mendapat kesempatan bermain atau pendidikan dan kehidupan yang wajar. Mereka harus bekerja karena menjadi tempat bergantung keluarga. Namun lagi-lagi mereka harus merasakan kekerasan dalam kehidupan masa kanak-kanaknya. Pekerja anak kerap diperlakukan secara tidak sesuai norma yang ada. Mereka kerap dijadikan obyek perbudakan, Ekploitasi dan kekerasan.
Para pekerja anak menghadapi berbagai macam perlakuan kejam dan eksploitasi, termasuk perlakuan kejam secara fisik dan seksual, pengurungan paksa, upah tidak dibayar, tidak diberi makan dan fasilitas kesehatan, serta jam kerja yang sangat panjang tanpa hari libur. Kebanyakan, pemerintah tidak memasukkan para pekerja anak ini ke dalam standar perlindungan buruh, dan gagal memonitor praktek-praktek perekrutan yang menimbulkan beban hutang yang sangat berat serta idak memberikan informasi akurat mengenai jenis pekerjaan kepada para pekerja anak ini. "Jadi, pada prinsipnya anak-anak itu dilarang bekerja. Tetapi apabila dalam keadaan terpaksa karena ekonomi dan sosial dari anak itu tidak menguntungkan, anak itu boleh bekerja tetapi tidak boleh menyimpang dari ketentuan dalam UU yang diatur dalam UU no 13 2003," ungkap Direktur Jenderal Pekerja Wanita dan Anak, Nur Aisiah di kantornya.
Anak diperbolehkan bekerja jika dalam kondisi ekonomi yang memaksa. Syaratnya, si anak memiliki ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam undang-undang no 13 tahun 2003 tentang undang-undang ketenagakerjaan. "Dalam UU disebutkan, usia tidak boleh kurang dari 13 - 15 tahun dan hanya boleh bekerja pada jenis-jenis pekerjaan ringan yang tidak membahayakan fisik, mental dan moral anak, syaratnya tidak boleh lebih dari 3 jam dan harus seizin orang tua. Disamping itu, anak juga harus tetap bersekolah," terangnya. Namun dalam situasi yang paling buruk, anak-anak selalu terjebak dalam situasi kerja paksa atau diperdagangkan menjadi pekerja rumah tangga yang kondisinya mirip dengan perbudakan.
Organisasi Buruh Internasional (The International Labor Organization) ILO memperkirakan, jumlah anak-anak perempuan berusia di bawah enam belas tahun yang bekerja di sektor rumah tangga, jauh lebih banyak dari pada di sektor lain yang sama-sama mempekerjakan anak-anak. Di Indonesia, ILO memperkirakan ada sekitar 700,000 PRT anak. Kondisi pekerjaan para pekerja rumah tangga yang sangat eksploitatif sering membuat pekerjaan ini menjadi salah satu dari bentuk perlakuan yang paling buruk bagi pekerja anak.
Di Indonesia, memang tidak sebanyak laporan yang disampaikan oleh para pekerja anak dari luar negeri. Walaupun volumenya rendah, namun tingkat kejadian pada pekerja anak di Indonesia lebih mencolok pada tingkat kejadiannya. Pekerja anak di Indonesia, sebenarnya merupakan persoalan klasik. Hanya saja jika pada tahun 1976 hanya 13,9% anak yang menjadi buruh, kini jumlah buruh anak bisa jadi sudah berkali--kali lipat yakni mencapai 80 juta orang, atau hampir 70% dari total penduduk. Laporan yang disampaikan ILO dalam releasenya menyebutkan, sekitar 8,4 juta anak di seluruh dunia terjebak dalam perbudakan perdagangan, praktek ijon, pelacuran pornografi dan pekerjaan terlarang. 1,2 juta diantaranya bahkan telah diperdagangkan. Angka ini belum termasuk 246 juta anak yang menjadi buruh anak.
Menghenyakkan kita memang. Tapi yang lebih membuat geram, bahwa 3 juta dari 8,4 juta yang dilaporkan, ternyata adalah anak-anak Indonesia. Mereka terpaksa bekerja dan tak jarang harus melakukan pekerjaan yang membahayakan perkembangan mental fisik dan emosionalnya. Mayoritas dari mereka, bekerja di sektor pertanian yang tidak bebas dari penggunaan bahan kimia dan peralatan berbahaya atau di jermal-jermal yang tingkat bahayanya tidak saja bersifat fisik dan biologis. Sementara lainnya memilih menjadi anak jalanan, pembantu rumah tangga, pekerja seks dan pekerja pabrik.
Hasil laporan Badan Pusat Statistik terhadap survey pekerja anak di Indonesia, jumlahnya mencapai 2,8 juta anak hingga tahun 2006. Dari jumlah tersebut, jumlah terbanyak adalah dari kaum perempuan yakni 1.734.126 orang dengan laki-laki 130.948 orang. Itulah sebabnya ILO sejak awal telah menetapkan program penanggulangan buruh anak sebagai prioritas utama. Pemerintah Indonesia sendiri sejauh ini lebih bersikap pasrah dan mendukung sepenuhnya program-program ILO. Nur Aisiah mengakui, bahwa sebenarnya dari sisi perundangan sudah lama diupayakan perlindungan terhadap pekerja anak ini. Sejumlah Rencana Aksi Nasional atau RAN telah pula ditetapkan. "Kami memiliki Rencana Aksi Nasional atau RAN tentang pekerjaan-pekerjaan terburuk yang dilakukan anak. Terutama salah satunya adalah anak yang dilacurkan. Sudah ditetapkan pula tiga tahapan untuk melaksanakan Rencana Aksi Nasional tersebut."
Ada tiga tahapan yang dicanangkan dalam RAN dan masing-masing tahap berlangsung selama lima tahun. Lima tahun pertama yang akan dicapai adalah:
1) Tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menghapus bentuk-bentuk terburuk pekerjaan bagi anak.
2) Terpetakannya pekerjaan tersebut dan upaya penghapusannya.
3) Terlaksananya program penghapusan bentuk-banetuk pekerjaan terburuk untuk anak, seperti; pekerjaan di lepas pantai penyelaman air dalam, pekerja anak yang diperdagangkan untuk pelacuran, pekerja anak di pertambangan industri alas kaki, industri serta peredaran narkotika dan NAZA.
Ini merupakan target yang akan dicapai dalam lima tahun pertama dari RAN. Permasalahan yang kini dihadapi oleh Departemen Tenaga Kerja yakni, proses menarik mereka para pekerja anak dari lingkungan kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. "Kami justru mendapat perlawanan dari para orang tua anak," ungkap Nur Aisiah. Akibatnya, proses penyelamatan anak pekerja terbentur pada sisi ekonomi yang dihadapi oleh para orang tua pekerja anak.
Depnaker sendiri telah melakukan pembentukan posko-posko rencana aksi di setiap kantor cabang provinsi dan kabupaten. Dari 32 provinsi yang ada, baru terbentuk di 12 provinsi. Sementara untuk wilayah seluruh kabupaten yang berjumlah 58 kantor telah terbentuk kantor cabang pembantu di 51 kabupaten. Namun, kebaradaan mereka tidak di dukung oleh pemerintah daerah baik dari segi politik dan anggaran.(Her/Ijs)
Artikel 9
SELAMATKAN ANAK BANGSA
Tulisan ini dibuat berdasarkan beberapa sumber data yang akurat serta pengalaman kami dalam pelayanan anak jalanan Yayasan YBK moveta (Adulam Ministri) mulai tahun 2001 sampai sekarang. Untuk apa?.. untuk menggugah kepedulian kita terhadap suatu perubahan manusia Indonesia bermula dari usia dini anak bangsa. Kepedulian untuk menyelamatkan calon pemimpin Indonesia masa mendatang.
Sebenarnya Pancasila jelas merumuskan tujuan bangsa yang salah satunya untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi segenap warganya. Hal ini sebenarnya terwujud dari program sosial-kemanusiaan pemerintah dibantu oleh lembaga-lembaga yang terkait dan menitik beratkan pada kesejahteraan anak-anak bangsa, baik dari segi pendidikan maupun ekonomi. Akan tetapi, yang sering terjadi selama ini, program-program kemanusiaan untuk anak-anak masih tidak optimal bahkan cenderung terabaikan. Padahal jika kita bebicara permasalahan sosial maka masalah anak-anak jalanan, putus sekolah dan anak terlantar mejadi bagian yang tidak bisa dihindari.
FAKTA MENUNJUKKAN
Data menunjukkan jumlah anak putus sekolah di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006 jumlahnya “masih” sekitar 9,7 juta anak. Namun, setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa. Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2007 sekitar 155.965 anak Indonesia hidup di jalanan. Sementara pekerja di bawah umur sekitar 2,1 juta jiwa. Anak-anak tersebut sangat rawan menjadi sasaran perdagangan anak. Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional dan sensus nasional tahun 2002 menyebutkan anak Indonesia yang putus sekolah di tingkat SD sebesar 1,46 persen, putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebesar 2,27 persen dan di tingkat SMA sebesar 2,48 persen. Selain itu masih ada sekitar 283.990 anak yang buta aksara. Salah satu penyebab anak putus sekolah itu adalah gizi buruk. Dari 23,725 juta anak Indonesia, 1,25 juta mengalami gizi buruk.. Selain masalah pendidikan, mereka yang kurang beruntung akhirnya harus bernasib menjadi anak jalanan, anak yang diperdagangkan, anak korban eksploitasi, anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang mengidap HIV/AIDS dan anak korban narkoba. Belum lagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Bahwa ada kecenderungan anak semakin dieksploitasi oleh orang tua atau terpaksa mencari nafkah, diungkapan Peneliti dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Donovan Bustami, yang mengutip data dari Depnakertrans menyebutkan jumlah pekerja anak di Indonesia pada tahun 1995 sebesar 1,6 juta, kemudian meningkat menjadi 1,7 juta di tahun 1996 dan meningkat kembali menjadi 1,8 juta pada tahun 1997. Tahun 1998 mencapai 2,1juta anak..
Data itu tidak menggambarkan situasi yang sesungguhnya, bahwa jumlah pekerja anak jauh lebih besar dari data BPS atau Depnakertrans. Karena laporan Depdiknas menunjukkan bahwa antara tahun 1995-1999 tercatat 11,7 juta anak usia sekolah yang terpaksa putus sekolah dengan alasan bekerja.
FAKTA ANAK JALANAN
Data terakhir (2008) yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa anak jalanan Indonesia berjumlah 154.861 jiwa. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA, 2007), hampir separuhnya, yakni 75.000 anak jalanan berada di Jakarta. Sisanya tersebar ke kota-kota besar lainnya seperti Medan, Palembang, Batam, Serang, Bandung, Jogja, Surabaya, Malang,semarang dan Makassar.
Anak jalanan dapat dibagi dalam tiga kategori, yakni:
1.Children of the Street
24 jam hidup di jalanan. Makan, tinggal, tidur, dan bekerja di jalan.Tidak ada lagi kontak dengan keluarga, tidak lagi pulang ke rumah (meskipun ada). Tidak bersekolah.
2.Children on the Street
Masih memiliki keluarga dan pulang ke rumah, sebagian ada yang bersekolah. Kategori inilah yang meroket jumlahnya semenjak krisis 1997 melanda Indonesia, berhubung penghasilan orang tua yang menurun karena gelombang PHK dan krisis ekonomi yang melanda. Membantu orang tua termasuk membiayai biaya sekolah menjadi salah satu alasan mereka bekerja di jalan.
3.Children Vulnerable to Be on the Street
Kelompok anak yang berteman dengan 2 tipe di atas & terkadang ikut-ikutan turun ke jalan. Yang melihat “asyiknya” gaya hidup jalanan: bebas, punya uang, dll. Tinggal menunggu the “crash” moment seperti dipukul orang tua, perceraian, bencana (kebakaran, penggusuran, banjir, dsb) untuk masuk dalam tipe 1 atau 2.
Menurut hasil penelitian di 12 kota besar yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, jumlah anak jalanan tahun 2003 sebanyak 147.000 orang. Dari data tersebut terungkap, sebanyak 60% putus sekolah, 40% masih sekolah. Sedangkan sebanyak 18% adalah anak jalanan perempuan yang berisiko tinggi terhadap kekerasan seksual. Selain itu, banyaknya anak turun ke jalan tidak lain karena kemiskinan yang menerpa keluarga mereka. Berdasarkan survei yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, alasan anak bekerja di jalan benar karena membantu pekerjaan orangtua sebanyak 71%, dipaksa membantu orangtua 6%, menambah biaya sekolah 15%. Sedangkan alasan ingin hidup bebas, untuk uang jajan, dapat teman, dan lainnya sekitar 33%. Tapi dari survey yang dilakukan beberapa LSM-LSM independent termasuk survey Yayasan YBK MOVETA (2001-2008) di semarang didapati alasan anak turun ke jalan dan menjadi ‘anak jalanan’ adalah 80% masalah ketidak harmonisan dalam rumah tangga. Sedangkan sisanya merupakan masalah ekonomi secara umum di Indonesia dipercaya alasan utama anak turun kejalan alasan ekonomi keluarga masih menjadi pendorong utama anak bekerja di jalan. Akibatnya sebanyak 13% anak jalanan mengalami putus sekolah dalam usia sekolah karena kekurangan biaya. Ada satu fakta menarik, yaitu si anak bisa menjadi sumber ekonomi keluarganya. Sebab pada umumnya seluruh penghasilan mereka diberikan kepada orang tuanya. Artinya, ternyata memang anak jalanan itu menjadi aset ekonomi keluarga. Dan hal tersebut yang mempersulit menarik anak dari jalanan dan mengembalikan mereka ke dunia anak-anak. Bahkan dalam berbagai kasus malah orang tua anak sendiri yang mengharuskan si anak untuk tidak sekolah tapi menganjurkan untuk “cari duit” saja. Buat apa sekolah demikian kata mereka “wong” dengan ngamen saja sudah dapat uang kok.
SIAPAKAH YANG BERTANGGUNG JAWAB?
Lalu, ke mana dan kepada siapakah anak-anak ini bisa mengadukan nasibnya? Orang tua mereka sendiri tiap hari banting tulang mencari nafkah di sektor informal dengan gaji yang hanya cukup untuk makan. Yang lain terlalu sibuk dengan urusan mereka sehingga si anak tidak menemukan kasih sayang dirumah. Sesuai bunyi UUD 1945 pasal 34 ayat 1 “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, maka pemerintah memang menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam menangani nasib anak-anak Indonesia yang terlantar. Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) pernah diluncurkan, rumah-rumah singgah didirikan dan disubsidi, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dihadirkan di sejumlah titik, namun belum mampu mengurangi eksodus anak-anak marjinal ini ke jalan.
Tangggung jawab pemerintah sajakah? Tentu saja tidak. Nasib bocah-bocah kurang beruntung itu adalah tanggung jawab kita semua, bahkan bisa jadi kitalah yang membuat mereka betah di jalan. Dalam kasus anak jalanan bila kita kalikan jumlah mereka sesuai data BPS di atas (150.000 anak) dengan jumlah penghasilan yang mereka peroleh perhari berkisar Rp 20.000 (perhitungan paling minim,biasanya 30.000), maka setiap harinya rakyat Indonesia membuang receh sebesar 3 milyar rupiah.
Satu angka dahsyat yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh kita karena mengganggap memberi lembaran seribu tatkala menemui tangan-tangan kecil yang menengadah adalah satu filantropi minimal yang bisa kita lakukan. Patut disayangkan bila nominal sebesar itu seringkali mereka habiskan sesuai natur anak untuk jajan, bermain dingdong atau tempat penyewaan play station. Bila tidak, mereka masih harus menghadapi kemungkinan diperas oleh preman, menyetor ke orang tua atau para senior, atau untuk tebusan saat mereka terjaring operasi kamtib. Akan lebih baik bila jumlah sebesar itu diperuntukkan untuk bantuan yang bersifat jangka panjang, seperti beasiswa sekolah, asupan nutrisi rutin, modal usaha bagi orang tua mereka, pembekalan ketrampilan bagi anak putus sekolah,dan program-program bermanfaat lainnya.
Penanganan nasib komunitas anak marjinal tidak bisa ditunda lagi dan dibiarkan berlarut dengan asumsi ada pemerintah, LSM serta aktivis sosial yang menangani. Angka 12,7 juta anak yang putus sekolah (Komnas HAM; 2004), 4,2 juta pekerja anak (ILO; 2007), ditambah mereka yang mengalami malnutrisi, korban trafficking, korban fedofilia, korban penjualan organ (seperti kasus mutilasi bocah yang sempat dikira Asep), dan hal-hal destruktif lainnya adalah satu jumlah angkatan besar yang memberi kontribusi signifikan bagi kualitas manusia Indonesia di masa depan. Mereka adalah calon ayah, calon ibu, calon pekerja, calon pemimpin yang bila kualitasnya sudah demikian buruk di masa sekarang, menjadi cerminan bagaimana kualitas mereka 10-20 tahun mendatang. Nasib bangsa ini, suka tidak suka, berbagian dengan mereka.
Mari ambil bagian mulai dari sekarang, meski itu hanyalah hal kecil yang bisa kita lakukan. Setidaknya itu lebih baik daripada tidak berbuat sama sekali. Daripada memberi uang yang sebagian besar tidak mereka nikmati, mulailah memberi sesuatu yang memiliki manfaat langsung ke mereka dan bukan filanteropi tanpa manfaat. Salurkan beasiswa kepada anak-anak yang berprestasi melalui lembaga yang bisa dipercaya atau bentuk bimbingan belajar di lokasi di mana mereka sering berkumpul. Aksi kecil yang positif secara agregat bisa memberi kontribusi nyata untuk menyelamatkan tunas-tunas bangsa ini.
            Sumber: http://www.kutaikartanegara.com/news.php?id=1106

Artikel 11.
Jumlah Pekerja Anak di Indonesia Masih Tinggi
Senin, 30 April 2007 | 22:45 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Jumlah pekerja anak di Indonesia ternyata masih tetap tinggi. Menurut Koordinator International Labour Organization (ILO) Bidang Penanganan Pekerja Anak, Abdul Halim, mengatakan jumlah pekerja anak di Indonesia mencapai 2,6 juta jiwa. Angka tersebut tidak jauh berbeda dengan angka tahun 2004 sebesar 2,8 juta. "Padahal undang-undang pada dasarnya melarang anak untuk bekerja," katanya sebuah diskusi di Hotel Acacia, Jakarta, Senin (30/04). Menurut dia, banyaknya jumlah pekerja anak sangat dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan penduduk. Kendati, kemiskinan bukan satu-satunya penyebab anak-anak terpaksa bekerja.
Maraknya sektor perekonomian informal menjadi sebab lain yang membuat anak terdorong untuk bekerja. Selain itu,kegagalan pemerintah dalam menciptakan sistem pendidikan juga berperan menyumbang pekerja anak. Hasil pengumpulan data yang dilakukan ILO menyebutkan sekitar 40 persen dari total pekerja anak bekerja di sektor pertanian. Selebihnya tersebar di sektor usaha alas kaki, perikanan lepas pantai, dan pertambangan. "Bahkan ada juga beberapa yang bekerja sebagai kurir bandar narkoba dan pelacur anak," katanya.



1 komentar:

Annisa Pradita Putri mengatakan...

:h:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar